Banyu nyaris hampir bikin gue mati. Mati karena bingung maksudnya. Dia benar-benar nganterin gue ke kosan, ditambah dengan membelikan obat untuk gue. Gue merasa sebelah sisi baik gue teriak bilang bahwa gue cukup brengsek dengan mendekati Ning, tapi gue nggak bisa memungkiri kalau hati gue stuck cuma sama Ning.
"Ga, cepet sehat lagi." Banyu berujar saat memastikan gue sudah berbaring nyaman di kasur gue.
"Bay, maafin gue."
"Udah, sehat dulu aja. Nanti lagi." Banyu buru-buru memotong ucapan gue.
"Gue balik ya, Ga. Fajar bentar lagi sampe kok." Gue nggak bisa bilang apa-apa selain makasih dan iya. Gue merasa diri gue kalah. Kalah dan brengsek.
Selepas Banyu pergi, Fajar dan Bang Taro datang. Bang Taro malah nggak berhenti merepet nanyain kenapa gue bisa nyungsep dan menyayangkan kenapa gue bisa sangat goblok dengan bikin motor jadi lecet dan hancur dimana-mana.
"Ini lo sebenernya khawatir sama gue apa sama motor sih, Bang?" Gue heran.
"Sama motor lah! Nanti gue kalo main ke kosan Indah gimana? Masa naik motor ancur." Ini jawabannya bikin gue pengen nampol aja rasanya. Untung inget kalo dia lebih tua. Takut kualat hidup gue.
"Lo benerin lah sana, lo yang make juga." Dengus gue. Fajar berdecak, "pantes emang kalian ditakdirkan menjomlo seumur hidup. Bacotan kalian gak mutu semua." Dumelnya. Gue dan Bang Taro refleks melayangkan toyoran kearahnya.
"Sakit woy!"
"Nih, ini gue mau nanya agak serius. Ga, lo kenapa bisa ada di kosannya si Ayu?" Pertanyaan sakti dari Fajar membuat kosan gue tiba-tiba terasa hening.
"Cuma kepikiran dia."
Bang Taro berdecak, "mau sampe kapan, Ga? Lo nggak lihat gimana si Banyu tadi?"
"Badan gue sakit. Bisa nggak kita nggak usah ngomongin hal kayak begini?"
"Gue cuma mau ngingetin, Ga. Kalo apa yang kali ini lo lakukan itu bener-bener salah. Serius dah." Fajar berujar serius. Seserius kata-katanya barusan. Gue diam. Begitupun dengan Bang Taro.
"Ya udah, gua balik ke kamar deh. Lo istirahat. Besok pagi mending balik aja, Ga. Disini juga gak ada yang ngurusin lo. Jangan ke Ayu dulu. Sampe lo bener-bener sembuh. Balik ke rumah. Mikir."
Fajar kesambet, Bang Taro gagu dan gua mendadak goblok.
*****
Sesuai saran Fajar, paginya gue membeli tiket go show ke Jakarta. Kelas eksekutif yang seharga kamar kos gue selama satu bulan. Agak sedih memang. Tapi ya cuma itu adanya. Mau nggak mau gue memang mesti balik. Otak gue kusut. Lagian UAS udah kelar. Tinggal nunggu info himpunan kapan ospek maba berlangsung.
Bangku sebelah gue kosong. Gue leluasa berpikir sambil menikmati rasa sakit bekas nyungsep kemarin yang kini mulai terasa nikmatnya. Pegel-pegel dan berasa mau hancur semua badan gue.
"Mas, butuh selimut?" Seorang prami menghampiri gue. Gue tersenyum, "boleh mbak." Sahut gue.
"Tunggu sebentar ya, Mas."
Mbak prami itu nggak lama kembali dengan sebuah selimut ditangannya. Gue memakai selimut setelah mengucap terimakasih pada mbak praminya.
Gerbong gue cukup sepi, tapi lumayan berisik. Sama seperti isi otak gue yang kini berisik banget. Bayangan gue diam-diam naksir sama Ayu, diam-diam ngajak dia pergi tanpa sepengetahuan Banyu cuma biar Ayu senang, nemenin Ayu makan makanan yang dia suka.
Kenapa gue baru berpikir kalo semua itu salah? Selama ini gue baru ngeh kalo semua itu memang nggak harus gue lakukan.
Am I a jerk?
*****
Tiket go show : tiket kereta yang bisa dibeli pada hari yang sama dg perjalanan. Biasanya dibeli 1×24 jam sebelum kereta jalan.
Prami : pramugari dalam kereta
KAMU SEDANG MEMBACA
Navy
General FictionNavy. Tidak hitam, tidak pula biru. Ia menyaru, mengikuti gelap, tapi tak kelam. Banyak orang bertanya, kenapa memilih warna yang tak konsisten? Tapi buatku, ini merupakan pilihan. Tidak gelap, tidak pula terang. Argajati Laksana, Rahayuning Bhuana...