Setelah hampir seminggu mengunjungi tempat-tempat khusus atas perintah raja, Ratraukh pulang ke manor dengan muka yang super kusut. Dia hanya berbasa-basi sejenak dengan istrinya, kemudian beralih menemui Vahissa di sebuah rumah yang Ratraukh hadiahkan untuknya. Meski ukurannya jauh lebih kecil dari manor utama, rumah itu terasa lebih hangat, dan yang terpenting terhindar dari percekcokan yang belakangan membuat Ratraukh jenuh.
Ratraukh masuk ke kamar lalu melongok ke ranjang kecil yang ditempati bayinya. Sudah malam, tapi Varoscar masih terjaga. Matanya bulat dan gelap seperti kelerang, tapi berkilau seperti mutiara hitam. Ratraukh memandangnya tersenyum, sedangkan Var balas menatapnya sambil mencoba memasukkan jari-jari kakinya ke mulut.
"Halo, jagoan," sapa Ratraukh. "Apa kau jadi anak baik sewaktu aku pergi?"
Var masih diam menatap. Ratraukh bisa dibilang jarang sekali mendengar bocah itu menangis. Apa itu pertanda baik atau justru sebaliknya?
Hati-hati, Ratraukh kemudian mengangkat tubuh montok Var yang dengan segera menyuruk ke lehernya. Bokong bocah itu kemudian ditepuk-tepuk. Namun bukannya terbuai untuk tidur, Var mendadak bergerak makin naik ke atas tubuh Ratraukh seperti memanjat pohon. Kening Ratraukh berkerut membiarkannya menjambak rambut sang ayah dan bahkan memukulnya beberapa kali.
Ratraukh menghela napas berat selanjutnya beralih duduk di hadapan meja rias Vahissa. Di situ dia bisa melihat Var menatapnya lagi dengan sorot tanpa rasa bersalah. Terakhir, Var malah berani mencaplok kepala besar Ratraukh dengan mulutnya yang masih belum memiliki gigi.
"Kau selalu senang mempermainkanku, bukan?" komentar Ratraukh saat Var menunggangi bahunya. Bocah itu masih bayi, tapi geraknya lincah seperti anak gorilla.
Dan untuk pertama kalinya Var menyunggingkan senyum lebar—senyum yang di mata Ratraukh sungguh menggemaskan, sekaligus mengesalkan.
***
Setahun semenjak kematian Vahissa, Ratraukh mulai kepayahan mendidik Var. Putra satu-satunya itu melampiaskan kesedihannya dengan memaksa diajari teknik bertarung meski usianya masih sangat muda. Awalnya, Ratraukh belum memberinya izin.
Sampai suatu hari Var pulang ke manor setelah keluyuran seharian. Wajahnya babak belur. Ada tiga benjolan, dihiasi bekas memerah yang sebentar lagi menggelap. Darah mengalir dari salah satu lubang hidung. Mata kanannya tidak bisa membuka dengan benar. Pakaiannya juga sobek di sana sini.
Ratraukh berdiri menjulang di hadapannya seraya menyilangkan tangan. Rife yang berdiri di sebelah Var langsung terkesiap kecil menerima delikan tajam Ratraukh.
"Bukan aku, Tuan!" sangkal Rife membela diri. "Tadi ada anak berbadan besar yang mau merebut busur yang kubuat, dan Var menghajarnya."
Menghela napas panjang, Ratraukh membalikkan badan.
"Rife, kau pulanglah," perintahnya.
"Selamat malam, Tuan!" pamit Rife kemudian.
Setelah Rife pergi dari ruang depan manor, Ratraukh kembali melirik Var yang masih bergeming.
"Bersihkan dirimu, makan, lalu beristirahatlah. Aku akan mencarikanmu guru besok."
Var sedikit mengangkat wajah menatap Ratraukh. Akhirnya pria itu memperbolehkannya berlatih bertarung. Dia tidak mengatakan apa-apa dan langsung enyah dari hadapan sang Ayah.
Perkembangan yang begitu pesat lumayan mengejutkan Ratraukh. Hanya dalam beberapa tahun, guru yang diperkerjakan Ratraukh, membiarkannya bergabung dengan kelompok orang-orang dewasa. Mencengangkan mereka langsung bergidik saat nama Var disebut. Dia boleh saja masih remaja, tapi ganasnya melebihi macan kumbang saat bertarung.
Cerita-cerita menyeramkan pun bergulir, di antara para prajurit resimen Buriand.
Kabarnya Var adalah keturunan siluman jagal—karena tiap malam, dia selalu mengasah pisaunya ... di tempat yang gelap, dan dengan mata yang berkilat penuh nafsu membunuh.
***
Sementara itu, di Vighę, Argent diharuskan menghadiri pertemuan di istana. Sebelum dia berangkat tadi, Silvana sedang mencorat-coretkan krayon berwarna-warni di secarik kertas. Sekarang sudah sekitar tiga jam berlalu. Mungkin saja anak itu telah terlelap kelelahan. Usianya masih lima tahun kala itu.
Sesampainya di manor, Argent langsung melangkah ke arah paviliun Di sana. netranya mengerjap heran melihat dayang-dayang serta para prajurit penjaga di sana berkerumun di ambang pintu paviliun yang terbuka lebar. Ketika sadar Argent berjalan mendekat, mereka bergerak memberi pria itu jalan.
Argent mematung. Mulutnya menganga.
Bagian dalam paviliun Silvana yang serba putih bersih, kini dipenuhi warna-warna tajam—bahkan sampai di langit-langitnya! Ketika mendengar bunyi pergerakan yang samar, Argent menoleh.
Silvana sedang melonjak-lonjak di atas lemari. Tangannya berlumur cat merah. Dan saat ini dia tengah asyik memenuhi tembok dengan cap tangannya sendiri.
Stok belasan kotak pewarna yang baru dibelikan Argent ludes hanya dalam hitungan jam.
.
.
.
Daku selalu suka lihat bocah-bocah troublesome lewat video. Karakter ayah-ayah di Silver Maiden sebenarnya amat menarik kalau di-reveal satu per satu. Ratraukh khususnya, saya suka karakternya dalam beberapa hal. Kalau kalian ingat, coba diputar kembali adegan saat Var ngehancurin manor Buriand. Hahaha.
.
Fun Fact: Ratraukh dan Argent adalah kepala asrama dalam angkatan yang sama di Gihon, bertahun-tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silver Maiden - Out of Story
Short StoryHanya berisi cerita yang tidak ada hubungannya dengan cerita utama, sidestory, atau bahkan NG