Prolog

52 8 1
                                    

"Banyak yang bilang jarak adalah penguji kesetiaan tapi bagiku jarak adalah penagih temu, ketika kita di pisahkan oleh jarak maka aku jadikan itu janji untuk menemuimu"
-Raka Hardinata

Cowok bermata hazel itu melangkah gontai memasuki rumah bercat putih yang amat megah. Tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan rumah berlantai tiga yang sangat besar dengan berbagai tanaman hias yang mengitari segala sisi rumah.

Air mancur dari batu berwarna coklat tua bertengger manis di tengah halaman depan rumah menambah kesan elok pada rumah megah itu.

Cowok itu melempar tas hitamnya dengan kasar ke sofa. Lalu duduk tepat disamping tas yang di penuhi kertas-kertas. Dia menyandarkan punggungnya, menghela nafas. Lelah. Satu kata itu yang mampu menjelaskan keadaan tubuhnya.

Seharian mondar mandir menguras banyak tenaga dan juga pikirannya. Cowok itu memijat pelipisnya yang sedikit kesengutan. Mengurus Sekolah berbeda negara memang amat rumit.

Andai saja mamanya tidak marah dan bersedia mengurus segalanya, ia tak akan pusing memikirkan hal-hal rumit seperti ini.

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans hitam yang ia kenakan. Membuka kunci layar... Memunculkan foto candid seorang gadis yang sedang tersenyum memberikan pesanan pelanggannya. Ia mencuri foto itu tanpa sepengetahuan gadis itu beberapa hari yang lalu.

Gadis itu seperti obat di tengah kesepian yang selalu melandanya, di antara kemewahan yang terasa hampa. Gadis itu adalah separuh nyawanya, bagian jiwanya dan hembusan nafasnya.
Lagi-lagi rasa bersalah muncul menyuak hatinya. Entah mengapa ia merasa bersalah atas apa yang dialami gadis itu. Meski ia tak ikut andil dalam kehidupan gadis itu.

Hingga akhirnya ia mengambil keputusan besar dalam hidupnya... meninggalkan sahabat dan orang tuanya-demi gadis itu.

MemorablyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang