Prolog
Hari masih siang. Namun awan gelap kian menutupi sang surya dengan sempurna, meredupkan pancaran cahayanya. Seraya menitikkan buliran air ke atas tanah, membasahi kota Jakarta.
Tiffany menghembuskan napas pelan lalu tersenyum tipis. Dia memangku wajahnya dengan tangan sembari memandang kosong ke luar jendela. Dari posisinya sekarang dia bisa melihat kendaraan berjalan pelan, payung-payung bergerak terbuka dan sekumpulan orang berteduh.
Di saat orang lain mungkin membenci hujan karena banyak dampak buruk yang ditimbulkannya, Tiffany malah mencintai hujan seperti sebagian kecil lainnya. Baginya, rintikkan hujan membawa perasaan sendu yang damai. Suara gemericik air yang beradu dengan tanah, bau lembab, hawa yang dingin ... ah, dia menyukai semuanya.
Tiffany memejamkan matanya, demi mempertajam indra pendengarannya terhadap suara hujan yang jatuh. Meski kedamaiannya itu tidaklah bertahan lama. Dia merasakan sentuhan pada lengannya yang dalam sekejap menariknya kembali kepada kenyataan.
Tiffany menoleh, mendapati si pelaku yang ternyata adalah sahabatnya. Terima kasih kepada sahabatnya yang telah menyeretnya paksa kepada realita menyebalkan dimana mereka beserta sekitar 30 orang lainnya tengah berada di suatu ruangan yang didominasi cat putih dengan perabotan yang menurut Tiffany membosankan.
Mereka sedang berada di tengah-tengah rapat, tepatnya rapat orientasi mahasiswa baru. Tiffany mengerang dalam batinnya. Tidak semestinya dia di sini pada siang bolong di hari Sabtu. Tempatnya sekarang seharusnya adalah ranjang empuk di apartemennya, bergelung di dalam selimut hangat sambil membaca novel Agatha Christie atau mendengar lagu-lagu lawasnya Peter Cetera.
"Lo lamunin apaan?" tanya sahabat Tiffany penasaran.
Tiffany menegakkan duduknya yang agak melorot lalu tersenyum tipis. "Nggak kok. Cuma ngeliatin hujannya aja," jawab Tiffany seadanya.
Mungkin kalau di depan orang lain jawaban Tiffany akan berbeda. Tapi karena Taeyeon adalah sahabatnya maka dia menjawab dengan apa adanya.
Taeyeon mengangguk, memahami maksud Tiffany. Sudah bersahabat sejak masa orientasi kampus 3,5 tahun yang lalu membuat dirinya paham dengan apa saja yang disukai maupun tidak disukai Tiffany. Gadis itu menyukai hujan, dan membenci kegiatan membosankan seperti rapat ini.
"Gue pengen cepet-cepet ospek jurusan. Bukan pengen ngegencet maba* ya ...." Taeyeon menggantung kalimatnya sambil memutar bola mata. Langit tahu, 85% senior yang menjadi panitia ospek pastinya punya niatan untuk sok berkuasa di depan para mahasiswa baru itu dan kesempatannya adalah saat ospek jurusan. Tapi Taeyeon dan Tiffany merupakan segelintir dari senior yang tidak punya niatan demikian.
(Maba* = Mahasiswa baru)
"Gue cuma nggak sabar pengen refreshing. Gue lebih prefer ke tempat camping di Sukabumi yang disaranin Kai, tapi kalau yang kepilih tempat yang disaranin Tetet juga gapapa sih," lanjut Taeyeon bersemangat. Berbeda dengan Tiffany, Taeyeon walaupun fisiknya terlihat lemah tapi dia sangat suka kegiatan outdoor. "Oh, ya, tadi lo voting yang mana?"
Ini dia pertanyaan yang takut untuk Tiffany jawab. Tidak, pertanyaannya tidak sulit maupun menyeramkan. Hanya saja ... Tiffany juga tidak mengerti.
Tiffany baru membuka mulut hendak menjawab sebelum matanya tak sengaja menatap ke depan. Di sana berdiri dua orang laki-laki yang memiliki tinggi serupa. Mereka sibuk membuka lipatan kertas-kertas kecil yang merupakan kertas-kertas voting untuk menentukkan tempat dimana akan diadakan camping ospek jurusan. Wajah salah satu dari dua lelaki itu berubah setelah membuka salah satu kertas, dan Tiffany tahu kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Student Orientation (Horror) -- HunFany x K.idols
HorrorKetika pekan orientasi mahasiswa baru berubah menjadi mimpi buruk.