Tiba-tiba, motor berhenti di samping gue. Pengendara motor dengan helm fullface membuka kacanya, dan mata seseorang yang tampak akrab bagi gue kini terlihat.
"Mau ikut?" tanya orang itu.
"Landak," sahut gue, mengenali mata itu.
"Jangan manggil gue 'Landak'," protes Landa.
"Gapapa lah," ucap gue.
"Naik, gue anterin sampai rumah," ajak Landa.
Gue langsung naik motor Landa dan berpegangan erat ke belakang jok. Motor Landa menembus keramaian jalanan, yang sekarang dipadati para pekerja pulang.
"Maaf ya, Lan," ucap gue.
"Untuk apa?" tanya Landa.
"Karena gue, lo jadi sakit," ucap gue.
"Siapa yang bilang gue sakit?" tanya Landa.
"Absensi, tapi tadi lo minum es buah padahal," gue heran.
"Gue ga sakit, Ra. Tadi kehujanan, jadi bunda suruh istirahat. Lumayan bolos sekolah. Lo khawatir ya?" jelas Landa.
"Apaan sih, gue ga khawatir," gue membantah.
"Mulut lo bilang ga, tapi hati lo, ya?" goda Landa.
"Apaan sih, sok tau," gue balas.
Tanpa sadar, motor Landa sudah berhenti di depan rumah gue.
"Udah sampai, lo mau sampai kapan diem di motor gue?" tanya Landa.
"Eh, udah sampai, ga kerasa," ucap gue sambil turun dari motor.
"Ketika bersama lo, waktu terasa cepat. Pasti lo ingin menghentikannya agar bisa lebih lama bersama," ejek Landa sambil tertawa.
"Serah lo, makasih ya," ucap gue berlalu menuju pintu pagar.
"Sama-sama. Eh, tunggu," panggil Landa.
Gue mendekat kembali pada Landa yang masih di atas motor. Tangan Landa mengelus rambut gue, membuatnya berantakan. Meskipun berantakan, gue merasa senang.
"Ada kutu di rambut lo, tadinya mau gue tangkap, malah kabur," ucap Landa.
"Enak aja lo! Rambut gue suci, kutu aja ogah deketin gue," gue kesal.
"Udah siapkan sayap untuk terbang karena perlakuan lo, tapi langsung jatuh karena perkataan lo," batin gue.
Gue masuk ke dalam rumah tanpa menunggu Landa pulang, karena malu. Landa memang pandai memainkan perasaan orang.Rumah gue sunyi, gelap, dan hening. Sepertinya orang tua gue sedang tugas di luar kota, membuat suasana rumah terasa seperti film horor. Lampu rumah belum dinyalakan. Gue mendengar suara seseorang memasak di dapur, gue berjalan menuju sana dengan senter di hp. Bayangan hitam terlihat sedang memasak.
"Ini pasti setan baik yang mau masak buat gue," batin gue.
Gue arahkan senter ke bayangan itu, dan ternyata dia memakai daster hitam dengan rambut panjang yang sedikit beruban. Bulu kuduk gue merinding, tubuh gue gemetar.
"Masa nenek gayung tapi ga bawa gayung, atau nini thowok tapi bukan boneka?" batin gue.
Tiba-tiba, bayangan itu berbalik, dan wajah misteriusnya terlihat.
"Aaaaaaaaaaaaaa," teriak gue, menutup mata."Uaaaaaaaaaaaaa," teriak sosok itu.
Lampu menyala, menerangi ruangan. Ketika gue melihat ke arah sosok itu, dia menghilang. Ada tangan di pundak gue.
"Eh, udah pulang, hihihi," ucap sosok itu sambil tertawa.
Dengan berani, gue membalikkan badan."Aaaaaaaaaaaa," teriak gue.
"Ayam, ayam, ayam," latah Mbok Iyam.
Gue kaget, wajahnya putih karena bedak saripohaci, mata terlihat hitam karena kantung mata. Kondisi seperti di film horor, membuat jantung gue hampir berhenti.
"Mbok, ngapain?" tanya gue, terengah-engah.
"Maaf, non. Saya lagi maskeran biar kulit saya kencang dan halus. Kebetulan mati lampu, jadi saya masak. Tadi kaget ngeliat non pulang," jelas Mbok Iyam.
"Maaf ya, Mbok. Kirain saya hantu," ucap gue sambil tertawa.
"Non, ada-ada aja," ucap Mbok Iyam.---Pagi ini kelas sudah ramai, entah karena kebiasaan atau karena gue yang terlambat. Dira sudah ada di tempat biasanya, sibuk dengan hp-nya. Gue menghampiri Dira yang tengah asyik dengan layar ponselnya.
"Pagi, Dir," sapa gue.
Dira tidak merespon, fokus pada hp-nya.
"Dira," panggil gue lagi.
Dira tetap asyik dengan hp, membuat gue kesal. Tanpa pikir panjang, gue ambil hp Dira.
"Eh, anju. Ganggu aja lo," protes Dira.
"Dari tadi gue sapa, panggil nama lo ga ditanggapin sedikitpun sama lo," ucap gue.
"Ya, biasa aja dong. Ga usah ambil hp gue juga," jawab Dira singkat.
"Lo kenapa sih?" tanya gue.
"Lo yang kenapa?" balas Dira.
Gue kembalikan hp Dira, mungkin dia sedang kesal atau mood-nya sedang buruk. Gue duduk di samping Dira, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba, seorang pria masuk ke dalam kelas dengan pakaian kasual. Semua orang menatap heran padanya.
"Bapak sopo?" tanya Pomo.
"Punten, sareng sahanya?" tanya Asep.
"Saha eta?" tanya Ujang.
"Maaf, anak-anak. Saya guru pengganti Bu Rika yang sedang cuti melahirkan. Saya akan mengajar seni budaya. Ada pertanyaan?" ucap pria itu.
"Nama bapak sopo?" tanya Pomo.
"Guru," jawab pria itu.
"Kita juga tahu bapak itu guru. Nama bapak siapa?" tanya Pomo lagi.
"Nama saya Guru Angkasa," jawab pria itu.
"Pak, katanya mau mengajar seni budaya, kok malah ngajar angkasa?" protes Fitri.
"Cukup, anak-anak. Panggil saja saya Pak Guru. Jangan protes, itu sudah takdir nama saya," ucap Pak Guru.
"Kaya takdir kita berdua yang dipertemukan saat ini," celetuk Sinta.
Semua murid tertawa melihat muka Pak Guru yang memerah karena celetukan Sinta.
"Udahlah, kalian bikin bapak baper kan, jijay," ucap Pak Guru.
"Bapak mah baperan," sindir Ria.
"Mending, kalian saya kasih tugas menyanyi. Solo, duet, grup, paduan suara, atau band, terserah kalian. Minggu depan harus tampil! Saya minta daftar nama hari ini! Minimal ada satu yang solo, duet, grup, paduan suara, dan band. Maaf, bapak tidak bisa mengajar lebih lama karena ada rapat guru," jelas Pak Guru.
Pak Guru keluar dari kelas, dan suasana kelas langsung riuh. Semua murid mencari teman untuk menyanyi bersama. Ada yang membentuk grup, ada yang akan menyanyi solo, ada yang akan menyanyi paduan suara campuran, ada yang membentuk boyband, dan sisanya masih bingung. Gue melihat Dira yang santai saja.
"Dir, maaf ya," ucap gue.
"Iya," jawab Dira.
"Lo mau nyanyi sama siapa?"
"Solo," jawab Dira singkat.
"Oh, jadi lo yang nyanyi solo," ucap gue.
"Minta perhatian, wahai bidadari dan pangeran di kelas kahyangan," ucap Abi di depan kelas.
"Jijik ih, sama kamu," protes Wina.
"Ada yang mau duet ga? Tinggal itu doang, cepet. Gue mau lapor pada baginda Guru," ajak Abi.
"Tuh, si Rara belum kebagian apa-apa," teriak Dira.
"Diem, Dir. Gue mau solo kayak lo," bisik gue.
"Ra, lo duet ya, plis. Nanti kita diusir dari sini sama Pak Guru kalau ga mau," pohon Abi.
"Gue ga punya pasangan duet. Gue mau solo, kayak Dira," gue memaksa.
"Solo sudah ada Dira. Lo duet aja, ya, plis," ucap Abi.
"Duet sama siapa? Gue kan mau nyanyi sendiri," protes gue.
"Sama gue aja, gimana?" teriak seseorang.
---Hai, pembaca semua,Semoga kalian suka dengan bagian yang sudah direvisi ini.Meskipun tidak jauh berbeda dengan versi sebelumnya,Terima kasih telah selalu mendukung cerita ini.Jangan lupa memberikan suara dan komentar ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ralanda (Classmate)
Teen FictionRara, seorang siswi yang terjebak dalam labirin perasaan cinta yang rumit di ruang kelasnya, seringkali merasakan detak jantung yang berdebar-debar ketika berhadapan dengan seseorang yang membuatnya tersenyum sendiri. Setiap hari, dia dihadapkan pad...