Hari ini seharusnya hari duka untuk Mikasa. Orang tuanya harus tertidur di dalam peti mati yang hanya ditibani tanah merah, hanya ada tangisan dan doa sebagai pengiring. Hanya payung hitam dan busana gelap orang yang menyitari gundungan tanah. Air yang turun juga cuaca yang mendung menjadi saksi penguburan sang suami istri yang baru saja meninggal karna kecelakaan.
.
Mikasa hanya dapat memandang hujan dari kaca jendela di ketinggian lantai enam pada gedung bercat putih pucat. Ini sudah satu minggu sejak kecelakaan, namun satu minggu itu pula tidak ada yang menjenguknya.
Rambut hitam segelap hatinya kali ini. Dengan pandangan kosong Mikasa hanya ingin dijemput ibu dan ayahnya. "maaf dek, saatnya pengambilan darah" ucap wanita berpakain serba putih. Meski mikasa tidak menanggapinya dan hanya memandang jendela wanita itu tetap melalukannya. Mikasa anak perempuan berumur sembilan tahunan hanya dapat meringis saat jarum telah menembus kulitnya
"kapan saya bisa pulang?" tanya mikasa tetap menatap jendela, perawat yang telah usai tugasnya menjawab. "setelah orang tua kamu menjemput dan membayar semuanya" lalu pergi keluar ruangan.
Mikasa bangkit dari kasur yang di bungkus dengan seprai putih. Keluar dari ruang rawat inap nomer 0220 dan menuju lantai dasar. Taman, adalah tempat pelarian mikasa saat hatinya telah putus asa.
Dan ini ke 5 kalinya ia mengunjungi taman yang terletak di tengah tengah gedung rumah sakit yang luas. Sekarang hujan, mikasa duduk di bangku sebelah taman yang atapnya tak terbuka. Cukup repot jalan dengan membawa bawa tiang silfer dan satu kantong cairan vitamin yang menggantung di atasnya hanya karna selang tipis yang menyambungkan pada kulitnya
Berpisah dengan orang tuanya satu mingguan ini membuat mikasa berpikir, 'apa ayah dan ibu baik baik saja?' tapi mikasa tau bahwa orang tuanya tidak baik baik saja.
Kejadian dimana ibu dan ayahnya hanya dapat terlentang di dalam mobil yang telah rusak. mereh, adalah warna pertama yang menyapa mikasa saat sadar. Mikasa tak dapat berkata apapun, karna apa yang dilihatnya dapat melukai hatinya. Sebelum bunyi ambulan datang, Mikasa hanya dapat mengguncang tubuh kedua orang tuanya, namun nihil.
"kedua orang tuanya telah meninggal!" ucap para medis sambil membawa orang tuanya memasuki mobil ambulan yang berbeda dengannya. Tak ada lagi harapan bagi mikasa untuk seseorang menjemputnya. Ayah dan ibunya adalah anak tunggal yang memutuskan untuk pindah negara lain saat mikasa dilahirkan.
"palingan ditaro ke panti asuhan" ucap mikasa enteng sambil memandang rintikkan hujan. Udara yang dingin membuat mikasa memejamkan mata sambil memeluk dirinya sendiri
Namum mikasa dapat mendengar langkah kaki yang mendekat ke bangkunya. "udah jam 4 sore loh, gak kedinginan?" ucap seorang anak laki laki bersurai coklat. Mikasa hanya dapat membungkam mulutnya.
"Eren jaeger, ruang 0221" Anak laki laki itu memperkenalkan diri. "gue bukan penguntit, tapi gue sering liatin elu" lanjut Eren duduk di sebelah mikasa
"cerita aja kalau mau meluapkan kesedihan" Mikasa masih tetap bungkam. Eren tau, pasti gadis itu ragu. Namun setelahnya bibir pucatnya berucap dengan lirih. "saya kesepian"
Eren bangkit dari bangkunya dan memasang syal merah di leher mikasa untuk menutupi wajah kacau nya saat ini, agar lebih tenang. Namun setelahnya Mikasa meluapkan kesedihannya dengan banjiran air yang turun dari matanya. "gue nyamperin elu untuk nemenin elu" ucap Eren memeluk mikasa.
Merah, menjadi warna yang Mikasa benci pada hari itu. Namun, merah yang digulung di lehernya menghangatkannya. Bodoh, jika mikasa menolak kehangatan dari dunia yang dingin ini.
-------
Thank buat yang vote, jan lupa tambahkan keperpustakaan :"))
KAMU SEDANG MEMBACA
so what i want ;EREMIKA [✓]
Romance"mik, gue demen sama krista, bantuin yak!?" -Eren "dia itu segalanya bagi gue!" -mikasa "tapi kan mik, lu suka sama Eren, tetep mau bantuin?" -Armin "Dari pada ngeharapin yang gak pasti, mending sama gue" -Jean Bukan mikasa doang yang berjuang, Eren...