Suasana pagi selalu menjadi semangat untuk semua orang. Termasuk di dalamnya keluarga Jeon yang terlihat begitu bahagia. Suasana sarapan terlihat begitu hangat dan menyenangkan.
Jeon Sanghyun sebagai kepala keluarga duduk di ujung menikmati koran dan secangkir teh miliknya, di sisinya ada Han Jinna sebagai seorang istri sekaligus ibu yang baik dan menyiapkan sarapannya dengan penuh cinta.
Jeon Junghyun -putra sulung Sanghyun dan Jinna- yang bekerja sebagai dokter sudah menyampirkan jas kebanggaannya di tangan, ikut juga bahagia di tengah kehangatan itu.
Jeon Taehyung -putra kedua Sanghyun dan Jinna- juga sudah siap dengan kuliah paginya. Hari yang menyenangkan bagi orang lain yang melihatnya, namun itu juga hari yang menyedihkan bagi maid yang bekerja di sana.
Sisi lain kehangatan itu, menampilkan sebuah kerapuhan hati dan rasa kesepian yang mendalam. Jeon Jungkook -putra bungsu Sanghyun dan Jinna- duduk di depan kamarnya, menatap pemandangan menyenangkan itu dengan tatapan penuh harapan.
Remaja lima belas tahun itu kemudian menatap satu bungkus roti di tangannya, mulutnya terbuka untuk memakan roti tersebut namun setelahnya mulutnya kembali mengatup.
Jungkook kemudian membuang roti itu ke tempat sampah, dia lebih memilih menyambar tasnya dan bergegas pergi ke sekolahnya.
Dia muak di rumah, meskipun baginya sekolah juga memuakkan.
"Anda, tidak sarapan lagi Tuan Muda?" Jungkook menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak nafsu," Jungkook menyahut lantang kemudian menghela napas panjang "Paman Lee, apakah hari ini jadwalku ada yang kosong?"
Paman Lee tersenyum kecut mendengarnya, pertanyaan itu terdengar seperti sebuah harapan. Pertanyaan itu selalu diajukan setiap pagi dan setiap hari, seolah Jungkook berharap memiliki waktu kosong untuk menarik napas panjang atau menikmati hujan yang turun pertama kali atau salju pertama di musim dingin. Jungkook melewatkan banyak hal menyenangkan dalam hidupnya. Kehidupannya selalu diburu waktu, bahkan sejak dia kecil hingga seusianya sekarang.
"Paman, apakah paman memiliki uang yang banyak?" Paman Lee tersenyum kemudian mengangguk.
"Sebanyak apa? Apakah cukup untuk membuat taman bermain buka dua puluh empat jam? Aku sungguh penasaran bagaimana rasanya naik bianglala atau komedi putar, anak-anak lain selalu menceritakannya dengan gembira, akh ... aku juga ingin menyicipi permen kapas, Paman. Jimin hyung sering berkata kalau rasanya sangat enak, bahkan sampai sekarang Jimin hyung sering meledekku karena tidak pernah memakan permen kapas."
Paman Lee memilih diam, matanya sudah berkaca-kaca dan Paman Lee segera menghapusnya agar tidak menghalangi pandangannya. Percakapan yang terdengar menyakitkan itu terjadi berulang kali setiap paginya, tepatnya setelah Jungkook resmi menjadi salah satu siswa di Hansung High School.
"Maafkan saya, Tuan Muda. Uang saya hanya cukup untuk membeli permen kapas, kita bisa mampir membelinya nanti."
Jungkook mengangguk, kemudian beralih ke buku yang ada di pangkuannya. Paman Lee kembali menyeka matanya yang basah, menyadari kalau kondisi mental tuan mudanya tidak baik.
Paman Lee sudah banyak membelikan permen kapas dan kenyataan itu selalu berhasil menyakiti hatinya.
_______
Kehidupan Jungkook itu sempurna. Anggap saja seperti itu, namun anggapan kehidupan sempurna hanyalah dari kacamata orang lain. Ini seperti sebuah film yang sedang ditonton, begitulah gambaran kehidupan Jungkook dan orang-orang yang menilainya sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect -The Series- [COMPLETE]
FanfictionIni tentang kesempurnaan yang hanyalah sebuah penilaian, ini tentang kesempurnaan yang ingin membuktikan, bahwa apa yang dilihat belumlah tentu benar. Ini tentang kesempurnaan yang mungkin kita lihat dari orang lain, namun percayalah semua orang mem...