Aku? Iya aku, di bagian ini aku akan menceritakan diriku, pengagum Barra yang entah sampai kapan hanya menjadi secret admirer Barra, sampai kita lulus? Atau sampai kapanpun? Kita saja baru masuk SMA, sepertinya akan sulit untuk menghilangkan rasa kagum ini karena kondisinya malah memungkinkan membuatku lebih kagum pada Barra.
Namaku diambil dari arti hujan dalam Bahasa Inggris, yaitu Rain, tetapi diubah menjadi Reina, lengkapnya Reina Keena Harisaputra. Aku bukan seseorang yang ideal jika dilihat dari pengukuran mungkin sedikit ideal, tapi tidak seideal Barra, aku memiliki bola mata hitam kecokelatan, bertubuh sedikit tinggi, sekitar 160 cm lebih, berat badan? Mungkin cukup aku yang tahu hehe, banyak yang berkata perempuan itu paling anti ditanya berat badan, apa iya? Aku rasa tidak semuanya karena aku pun biasa-biasa saja perihal itu.
Aku, terkadang seringkali memikirkan seseorang yang tak tahu memikirkanku atau tidak, siapa lagi jika bukan Barra, seseorang yang aku kagumi, sebatas kagum, tak lebih, dan tak ingin lebih. Cukup dekat, tak perlu lebih, tunggu saja waktu yang melebihkan.
Bertemu dengannya mungkin adalah kebetulan, menjadi temannya adalah keharusan, bersama selalu sampai kapanpun adalah keinginan, dan berpisah adalah menyakitkan, tapi itu yang terbaik nanti.
Aku dan Barra hanya kroni, hanya teman, tak lebih dari teman sampai sebelum Barra mengatakannya, mengatakan bahwa aku teman terbaiknya.
"Kamu itu teman terbaik saya," ujar Barra.
Aku yang bingung harus menjawab apa, akhirnya hanya membalas, "Kamu juga teman terbaik saya, saya belum pernah menemukan teman sebaik kamu," ucapku.
Iya, aku memang belum pernah menemukan yang sebaik dia, sesopan dia, se-care dia, dan semengerti dia.
Setelah itu, kita masih biasa saja dan kukira hanya mengaguminya. Dia baik, sangat baik.
Kota ini, sekolah ini, dan tempat ini, memang sudah tak asing bagiku, tapi tempat yang baru bagiku jika untuk menetap lama.
Aku, bukan orang yang mudah menyukai ataupun mencintai, sulit rasanya, bahkan di tempat yang dulu kutinggali, tak pernah ada seorang pun yang membuatku menyukainya. Hanya saja karena kesal dengan teman-temanku saat itu, aku mencoba menyukai seseorang, yaitu Fathir, tapi ya namanya rasa, perasaan itu tidak bisa dipaksakan karena rasa itu akan ada dengan sendirinya, tak perlu dibuat-buat. Tetap saja, tak ada rasa untuk Fathir hingga akhirnya kita sama-sama lulus sekolah.
Aku harus pergi, pergi dari tempat di mana aku dibiasakan hidup, dibesarkan, dan di sekolahkan, setelah lulus dengan perasaan tak keruan, entah bahagia atau malah sedih.
Aku bahagia karena akan meninggalkan semua yang menyakitiku di sini, aku bahagia karena rasanya akan memulai semuanya dari awal lagi sehingga dapat memerbaiki kesalahan di masa lalu, tapi aku sedih karena akan meninggalkan teman-teman yang membuatku bahagia, yang selalu mendukungku, dan yang selalu mendengarkanku.
Sebelum kelulusan, aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempatku itu, tapi makin hari, sampai hampir mendekati hari kepergian itu, diri ini tak bisa, tak bisa untuk melanjutkan kepergian, juga hati yang belum siap untuk meninggalkan semuanya, dan memulai hal baru dengan orang baru, yang aku tak tahu dia bagaimana. Apakah sama? Atau justru berbanding terbalik.Mau tidak mau, bisa tidak bisa, sanggup tidak sanggup, hari itu datang, hari perpisahan, hari terakhir aku bertemu mereka yang biasa mengisi hari-hariku, dan tak jauh dari hari itu, hari kepergian pun tiba, aku benar-benar harus pergi. Pagiku saat itu adalah pagi terakhir aku di sana, dan soreku saat itu adalah sore pertama aku di sini. Tak jauh beda dari kota yang dulu, hanya saja rasanya yang lebih dingin karena dekat dengan gunung.
Sampai saat ini, aku tak yakin, aku akan selamanya di sini, dan akan melanjutkan semuanya di sini.
Apa bisa beraktivitas dengan keadaan dan situasi yang berbeda? Apa bisa melakukan semua yang biasa dilakukan di tempat ini? Entahlah, aku belum bisa memastikannya.
Kini, aku memang memiliki Barra, sebagai sahabatku, sebagai teman terbaikku, yang rela menjelaskan arti kosa kata yang tidak kumengerti, yang rela menjelaskan hal-hal yang tidak aku ketahui di sini, tapi ya, yang namanya sahabat, ya tetap hanya akan menjadi sahabat.Sahabat tetap sahabat. Aku akan tetap mengaguminya, tanpa dia ketahui hingga rasa ini hilang dan semuanya menjadi biasa saja, seperti pada awalnya.
Andai saja waktu bisa diulang, mungkin aku akan memaksa untuk pindah ke kelas sebelah, yang rata-rata sama memilih peminatan Sosiologi. Selain itu, agar aku dan Barra tidak dekat, dekat sebatas sahabat. Sahabat terbaik tentunya.
Ingin rasanya mengulang, mengulang masa itu, yang nanti akan kuceritakan di bagian lain.Aku bersyukur, akhirnya punya seorang sahabat sebaik Barra, tapi rasanya lebih baik tidak jika hanya akan menyakiti terus-menerus, juga Barra yang demikian terus-menerus.
Karena yang mencintai dalam diam akan kalah dengan yang mengungkapkan, tapi apa bisa, aku yang hanya sahabatnya, lidah ini terlalu kelu untuk mengungkapkan, dan hati ini terlalu lemah untuk tersakiti karena mengungkapkan.
Aku ya aku, seseorang yang akan selalu menjadi diriku, sekalipun rasanya sakit, tapi apa harus aku berkelakuan menjadi orang lain, demi terwujudnya keinginanku? Tidak harus karena setiap orang pun pasti ingin menjadi diri sendiri, bagaimana dia bisa mencintai kita jika kita saja tidak mencintai diri sendiri.
820 Kata untuk bagian 'Aku?'
Jangan lupa vote, comment, dan share.
Silakan kritik dan sarannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Barra #2017
Teen FictionTatap-penasaran-mencari tahu-rasa, hanya dua akhirnya, rasa yang terbalaskan atau rasa yang tak terbalas. Berawal dari tatap, berlanjut penasaran, dan ingin mencari tahu, muncullah perasaan yang seharusnya tidak ada yang berakhirkan rasa yang berbal...