Baiklah, kita mundur ke hari di mana pertama kali aku dan Barra masuk SMA.
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah yang dahulu bernama MOS (Masa Orientasi Siswa) adalah waktu yang tak terlupakan.
Bukan hal mudah untuk aku berada di sini, butuh perjuangan, semuanya, apalagi untuk aku yang asalnya bukan dari sini.
Aku berjalan menelusuri lorong di SMA ini, saat pertama masuk aku langsung bisa melihat sofa kecil di lobi dan banyak piala yang tertata rapi, entah sudah berapa penghargaan yang didapat untuk sekolah ini, membanggakan. Setelah itu aku melewati lorong lagi dengan taman kecil yang terhalang mading, ditambah lagi piala-piala yang berjajar di atas lemari bersekat di samping ruang OSIS dan UKS.
"Beda ya ruang OSIS di sini, ruangannya aja beda, pasti masuknya ga sembarangan orang," pikirku seraya terus berjalan dan memikirkan apakah aku bisa jadi bagian di sana?
Selanjutnya dari lorong berisi piala tadi, aku harus melewati aula terbuka kecil yang difungsikan untuk tempat membaca, melihat orang berlalu lalang karena terdapat juga ruang belajar di sekitarnya dan sesekali terbesit penasaran, penasaran rasanya memakai seragam putih abu-abu, apakah rasanya seperti di film-film? Entahlah, aku tak tahu karena saat ini aku pun masih memakai seragam putih biru. Menaiki tangga kecil, sekitar 10 anak tangga kecil, lalu lurus lagi bersampingan dengan mading, sampai akhirnya berhenti di bangunan berwarna krem kekuningan, biasa disebut Aula Graha Abdi Purna, singkatnya aula saja.
Baru saja aku menginjakan kaki di lantai aula, para TDU atau Tim Disiplin Umum sudah memerhatikanku dengan wajahnya yang sangar dan terlihat berwibawa.
"Kiri," ujar salah satu dari mereka.
Dengan singkatnya aku pun menjawab, "Kiri apa kak?"
"Duduk," ucapnya dengan sedikit penekanan.
"Ohh, iya kak, makasih kak," jawabku, padahal aku sudah tahu duduknya di kiri karena banyak juga peserta didik baru lain yang berada di sebelah kiri.
Kakak-kakak tadi pun tak lagi menjawab, hanya kembali memalingkan wajah, kemudian berlagak lagi, seperti tadi.
***
09.45.
"Yang mau jajan bisa ke kantin ya," ujar pendamping kelasku.
Semua yang ada di kelas serentak menjawab, "Iya kak."
Hampir setengah dari seisi kelas berhamburan keluar kelas menuju kantin, aku hanya terdiam dan memakan bekal makananku, terlalu takut untuk bertanya, dan selalu kelu lidahku setiap ingin mencoba membuka pembicaraan, mungkin aku bisa dengan lancar berbicara di rumah, tapi tidak untuk di sekolah. Sekolah baruku tentunya, sangat jauh dari ekspektasiku.Aku mengetahui mereka yang duduk di depanku atau di jajaran depan itu, tapi aku bingung untuk berkenalannya karena aku yang terlalu takut, dan rasanya lebih baik diam, lalu menunggu ditanya saja.
***
Matahari belum terlihat jelas dan belum menyorot sekali, tapi aku sudah di perjalanan, dan tak lama dari itu aku pun sudah berada lagi di sekolahku, masih sama, seperti kemarin, tak ada yang berubah, hanya saja aku bergegas lebih cepat agar bisa memilih duduk di bangku tengah. Aku duduk di bangku tengah agar aku berada di tengah, dan agar lebih nyaman.
Aku melangkahkan kaki memasuki kelas, tapi aku salah, bangku tengah sudah ada yang mengisi, ya mau tidak mau aku harus di belakang, bukan tidak ingin di bangku depan, hanya saja aku belum siap untuk berbagai macam pertanyaan yang dilontarkan.
"Emm, maaf, aku boleh duduk di sini?" ujar seorang wanita yang kelihatannya anak pendiam.
"Boleh," jawabku.Kami pun duduk berdua dan sesekali melontarkan pernyataan, yap, hanya sesekali. Sampai akhirnya aku pun berpikir, "Sampai kapan aku harus duduk sama orang pendiam? Bukan masalah yang lain, tapi masa aku akan jadi pendiam juga, yang nyatanya sangat berbeda dengan aku, aku yang tidak terlalu pendiam, yang berisik, tapi terkadang jika tidak kenal dan belum kenal maka aku pendiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barra #2017
Teen FictionTatap-penasaran-mencari tahu-rasa, hanya dua akhirnya, rasa yang terbalaskan atau rasa yang tak terbalas. Berawal dari tatap, berlanjut penasaran, dan ingin mencari tahu, muncullah perasaan yang seharusnya tidak ada yang berakhirkan rasa yang berbal...