Prolog I Sisi : Perempuan Kemarau

4.7K 296 15
                                    

Aku menunggu waktu di mana udara di kota ini berada pada titik gigil menjelang bulan Juni. Aku penasaran juga, setabah apa hujan yang sering diceritakan oleh Tuan Sapardi.

Setabah rintik yang jatuh dari sepasang mata namun tetap dibiarkan rahasia kah? Atau setabah kisah pahit yang bersembunyi di balik seduhan kopi manis?

Sebab sebelum air dari langit itu jatuh menyentuh tanah, ada yang lebih dulu turun meninggalkan sepasang mata sayu lalu merembes melewati pipi.

Pagi ini aku kembali menelusuri jalan rumit dalam kepalaku sambil menyeruput kopi manis yang kuharap mampu membuat mood-ku membaik. Namun nyatanya tidak. Sebanyak apa pun yang kuminum, percuma. Tak akan mampu mengusir kisah pahit yang terus berputar-putar dalam ingatan.

Sejak sepasang kaki milik seseorang itu bergegas menjauh, kutemukan kemarau telah diam-diam bermukim di dadaku.

Anak-anak puisi yang pernah kulahirkan kemudian dia besarkan, pada akhirnya harus kuusir jauh-jauh. - aku tak sanggup membunuh mereka. Aku tak mau mereka merasakan bencana kekeringan. Biar. Cukup penaku saja yang mati kehausan. Kehabisan tinta, membuat kertasku setidaknya baik-baik saja meski harus menanggung rindu cukup lama.

Sudahlah. Aku tak butuh hujan yang turun di bulan Juni. Sebab tak perlu dibatasi musim, almanak yang menyisakan selembar lagi dan cangkir kopi di depanku ini sudah tahu, bahwa musim hujan di mataku selamanya akan turun meski dadaku tengah dilanda kemarau panjang.
***

Lelaki Hujan dan Perempuan KemarauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang