Bersama

56 13 0
                                    

Dengan enggan, kuputar badanku kembali menghadap pria tengil itu. Ku hela napasku kasar, entah kenapa pria itu selalu berhasil mengobrak abrik emosiku.

Kulangkahkan kakiku menghampiri kameraku, ingat! Bukan pria sableng itu. Oh lihatlatlah apa yang dilakukan pria lancangku itu pada kamera yang bukan miliknya. Aku tahu dia sedang memutar-mutar kembali hasil jebretanku dalam memori kamera itu. Sungguh perilaku yang sangat-sangat terhormat.

"Hei!!! Jangan sembarangan mengambil foto orang ya!" teriakku seketika setelah kilatan flash mengarah padaku. Dengan langkah lebar aku berjalan kembali kearahnya. Aku sudah siap meledak sekarang. Aku paling tidak suka di foto.

"...Aku bilang hentikan! Kamu ngerti bahasa manusia nggak sih!!?" ucapku dengan penuh kata kasar. Aku sudah tidak peduli dengan tatapan-tatapan dari arah samping kami saat ini.

"Sini kameranya!" Nada ketus masih keluar dari mulutku, aku tidak perduli dengan sopan santun sekarang.

Ck, ketika tanganku mencoba merampas kamera yang ada dalam genggamannya, pria itu malah mempermainkanku dengan mengangkat tinggi tangannya yang menentang kamera yang ingin ku ambil. Aku tidak bisa meraihnya dengan tubuh pendekku ini. Salah, sebenarnya aku bukan pendek, tinggi badanku standar ukuran tinggi badan wanita asia hanya saja pria dihadapanku ini yang memiliki tinggi badan yang berlebihan. Aku benci ketika dia mengeluarkan seringai setannya itu melihat ke tidak berdayaanku sekarang.

Aku mendengus sekali lagi melihat sifat kekanakannya, entah sudah berapa kali aku mendengus. Jika dia mengira aku akan lompat-lompat seperti anak kecil hanya untuk meraih kamera itu, maka jangan harap.

"Jangan kekanakan gini, bisa nggak sih Hilal!" ucapku berusaha setenang mungkin, kedua tanganku sudah terkepal kuat menahan kekesalan dengan pria menyebalkan ini. Aku sadar bicara dengan Hilal tidak bisa pakai urat seperti sekarang. Itu sama saja mengikuti permainan konyol yang tengah ia ciptakan.

"Kameranya bakalan aku kasih setelah kita jalan-jalan sebentar"

"Apa hakmu menahan sesuatu yang bukan milikmu?"

"Siapa bilang kamu bukan milikku" kuputar bola mataku jengah. Pria ini sudah sinting sepertinya. Gak sinkorn woy! Budeg ya?

"Ya Allah Hilal! Jangan mancing emosi bisa?" Aku capek bicara terus. Kududukkan kembali tubuhku di pinggiran pondok, ternyata lelah juga bicara sama bocah. "Baiklah. Ayo kita jalan-jalan sebentar" lanjutku pasrah. Aku tahu dia tidak akan berhenti walaupun aku menolak sekeras apapun.

"Harusnya jawabnya mulai dari tadi. Ayo!" Aku tidak ada niatan berkomentar lagi. Terserah dia mau bilang apa, kepalaku sudah pusing.

Aku bangkit dari posisi dudukku dan berjalan mengikutinya. Kamera masih ada dalam genggamannya, katanya jaminan agar aku tidak kabur. Dasar konyol, umur sudah tua tapi tingkahnya masih sama dengan Adit, bocah empat tahun keponakan ibu kosku.

Aku tidak mengerti kenapa dia bersih keras mengajakku. Dan aku malas untuk menanyakannya.

"Kita mau kemana?" kami sekarang berada dalam mobil Hilal, mobil dengan warna silver metalik yang sempat ada keinginan dihatiku untuk melemparnya pakai batu siang tadi.

"Harusnya pertanyaan itu kudengar sebelum mobil ini berjalan, bukan sekarang disaat kita sudah sampai tujuan. Dasar bodoh"

Dia bilang aku bodoh?!

Tarik nafas hembuskan, tarik nafas hembuskan. Aisyah! Sabar!

****

Pantai... Aku bersorak senang dalam hati. Padahal aku sudah pesimis untuk bisa datang kesini. Lumayan.

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang