Inayah dan Rangga

33 2 1
                                    

lorong demi lorong yang kulewati terasa begitu menyesesakkan. Semakin ke dalam pasokan udara kian menipis di rongga dadaku. Banyak orang berlalu lalang membuat pikiranku tidak fokus, kepalaku sungguh pusing. Aku seperti deja vu, bau tempat ini sangat akrab dengan hidungku tapi anehnya bau ini seperti ingin membunuhku detik ini juga. Langkahku melambat, kakiku semakin enggan memasuki lebih jauh lagi kedalam sana, makin kedalam pasokan udaran kian menipis menurutku. Kutarik nafasku dalam, aku bingung antara melanjutkan langkahku atau berputar balik untuk melenggang keluar dan menarik udara rakus ke dalam paru-paruku. Ku dudukkan tubuhku di kursi besi kosong di sisi lorong. Aku cemas dengan kondisi Inayah tapi ketakutan dalam diriku lebih menguasai anggota badanku. Tanganku berkeringat dan aku tahu jidatku juga begitu. Pandangan semua orang seperti mengarah padaku, nyaliku semakin menciut. Linda dan Nisa sudah masuk kedalam sana terlebih dahulu dan fakta itu semakin membuatku takut. Aku butuh seseorang memegang tanganku saat ini.

"Aisyah..!" ku dongkakkan kepalaku keatas, melihat siapa sosok yang tengah berdiri di hadapanku. Perasaanku campur aduk, antara lega karena menemukan seseorang yang ku kenal dan sedikit cemas karena dia yang menjulang tinggi dihadapanku sekarang melihatku dengan kondisi mengenaskan seperti ini. "Aku kira salah orang" lanjutnya dengan menjatuhkan tubuhnya di kursi besi kosong di sampingku. Senyum ramah dengan bonus lesuk pipi selalu melekat di wajah manis itu.

Perasaanku sedang buruk sekarang, aku tidak ingin pria itu tahu kegelisahan yang tengah kurasakan dan yang paling penting aku tidak suka berbicara jika keadaan hatiku buruk. Semoga pria ini memakluminya dan tidak tersinggung dengan sikap diamku ini. Keringat dingin masih membanjiri telapak tanganku, aku harap pria itu tidak banyak bertanya dengan gerak tubuhku yang jelas terlihat gelisah sekarang.

"Apa kamu baik-baik saja?" dan harapanku tidak terkabul. Suaranya terdengar cemas menurutku, tapi entahlah. Akhir-akhir ini sepertinya telingaku selalu mudah baper dengan perhatian perhatian kecil.

"i--yya aku baik-baik saja" balasku dengan sedikit gugup dengan melempar senyum kaku menghindari pandangannya yang menatapku intens. Kedua tanganku masih bergerak gelisah diatas pangkuanku, aku masih berusaha sekuat tenaga menekan rasa tidak nyaman akan tempat ini. "Siapa yang sakit?" tanyaku berusaha bertanya menutupi suasana hatiku. Aku yakin Linda dan Nisa sedang mencariku sekarang.

"Maksu--.." Belum sempat Hasnan menyelesaikan kalimatnya seorang perempuan keluar dari ruangan yang tepat berada disisi kiri pria itu. Mataku melebar. aku mengenal perempuan itu, dia Maulina Putry Prasetyo. Perempuan yang lebih suka jika orang lain memanggilnya princess dulu. Dia tidak suka jika aku memanggilnya Ina, tapi anehnya aku justru suka melihat ketidak sukaannya itu. Maka sejak dulu hingga sekarang aku tetap memanggilnya dengan sebutan Ina.

"Anan! om Ramlan mangg--, eh! Aisyah kan?"  mata kami bertemu, aku melihat keterkejutan dalam netra itu sedangkan aku berusaha untuk tidak terkejut lagi. Begitu banyak kejutan yang menghampiriku hari ini membuatku terkadang lupa cara bernafas dengan baik. Dia menatapku dengan khas pandangannya seperti dulu, dia tidak berubah itulah hasil pikiranku. Refleks aku melempar senyum seadanya kemudian mengangguk mengiyakan pertanyaannya barusan.

"Kalian saling kenal?" tanya Hasnan dengan menatap kami bergantian. Aku mengangguk sekali lagi sebagai jawaban.

"Iya, dia teman satu SMP ku dulu" ucapnya dengan senyuman. Aku mendengus dalam hati, aku mengenal Ina baik, jadi untuk mengetahui apakah itu senyum tulus atau tidak aku juga bisa tahu.

"Jangan bilang dia yang lo maksud?" tanya Ina jelas tertuju pada Hasnan. Aku mengernyit tanda tidak paham arah pembicaraan kedua manusia yang jelas belum ku tahu hubungannya apa. Perempuan itu menatapku, kedua korneanya bergerak dari bawah ke atas, jelas dia sedang menilaiku sekarang. Seringai mengejek sarat akan merendahkan dari perempuan itu membuat darahku mendidih. Tanganku terkepal kuat. Menekan emosi yang sudah meluap hingga ke rongga dada, entah kapan bisa kutahan. Aku siap meledak sekarang. Mataku berkilat, dan dia menyadarinya. Senyum miring di sudut bibirnya kian mengembang melihat umpannya ku tangkap dengan suka cita. Aku mengumpati diriku dalam hati karena ceroboh untuk kali ini.

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang