AKU tersentak dari tidur saat merasakan cipratan air dingin di wajahku. Kelapaku terasa berat. Tidak terdengar suara hujan, dan aku yakin atap kamarku tidak bocor, tapi kenapa bisa ada cipratan air wajahku?
"Bangun, Singa Masai!" teriak suara anak kecil.
Aku mengucek-ucek mata, memfokuskan pandangan. Dan setelah kulihat siapa yang menyemprotku, aku berteriak histeris, "Ya ampun....! Edwin!!!"
Edwin ini sepupuku, anak tunggal dari Tante Ema, adik Papa yang paling kecil. Umurnya tujuh tahun dan baru masuk SD tahun ini. Sekolahnya nggak jauh dari rumah. Dia sering dititipkan di rumahku oleh orangtuanya kalau mereka harus keluar kota karena urusan bisnis.
Papa dan Mama sayang banget sama Edwin. Memang sih, Edwin tampak seperti bocah lucu menggemaskan dengan kulit putih, tubuh gempal, dan rambut rada cokelatnya. Begitu melihatnya, orang bisa langsung suka sama dia. Tapi aku nggak bakal ketipu sama tampang imutnya. Bagiku dia tetap perusuh kecil yang selalu bikin kacau, bocah nakal penganggu, alien yang nggak diterima di planetku.
Edwin melompat-lompat di atas kasur dengan pistol air di tangannya. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Aku lebih memilih atap bocoe plus hujan badai daripada kehadiran bocah nakal ini di sini sekarang. "Edwin, keluar kamu! Cepet!" seruku.
Tiba-tiba suara deringan jam-ajam beker yang bersahutan terdengar. Aku mengangkat bantal, dan kulihat Edwin sedang mengeluarkan jam beker yang berdering-dering dari saku piamanya. Sudah ada empat beker di atas kasur dan Edwin sedang berusaha mengeluarkan satu beker lagi dari saku piamanya yang kesempitan. "Edwin....!!!" teriakku, menyaingi suara kelima beker itu. Aku yakin, anak bandel ini mengumpulkan beker dari seluruh kamar. "Matiin nggak?!!! Kalo nggak, aku jitak nanti! Berisik, tau!"
Edwin melompat-lompat girang, tidak menghiraukan ancamanku. Aku menyingkap selimut dengan kesal dan bersiap menyerangnya. Tapi dengan cepat dia mengacungkan pistol airnya di depan wajahnya.
Aku mengangkat kedua tanganku. "Oke, aku nyerah! Jangan tembak!" Tetapi.....Crot! Mukaku basah dalam sekejap. "Kata Mama, bangun tidur harus cuci muka dulu!" seru Edwin sambil berlari ke luar kamar. Sebelum menutup pintu, anak itu melemparkan bebek mainannya yang berkwek-kwek memekakkan telinga ke tempat tidurku kamarku benar-benar meriah pagi ini.
Dasar bocah kurang ajar! Dengan kesal aku mematikan kelima beker dan bebek mainan itu, dan kuletakkan di atas meja belajarku. Memang sudah waktunya aku bangun, mandi, dan berangkat sekolah, tapi mataku kok masih mengantuk, ya?
.....
Setelah memaksakan diri mandi dan memakai seragam, aku menyiapkan buku-buku untuk pelajaran hari ini. Dengan kepala pening, kurapikan PR matematika yang kubuat sampai jam dua pagi tadi. Siang kemarin aku sibuk bertengkar dengan Edwin karena dia mengacak-acak koleksi komik dan mainanku. Setelah itu aku ke toko buku karena ada komik yang baru terbit. Sorenya, baru aku kepikiran nelepon Wulan untuk menanyakam apakah dia mau membantuku bikin PR. Sayangnya, dia bilang akan mengantarkan kakaknya ke bandara.
YOU ARE READING
MATEMACINTA
Teen FictionCerita ini rekmake dari novel karya RAZY BINTANG ARGIAN, gue hanya me-remake saja, tempat dan latar belakang ceritanya masih 100% sama yang ASLINYA, gue hanya beritahu ke lo semua harus baca ni novel, kagak bakalan nyesel deh bacanya.. gue tertarik...