Part¤5 MALAM MINGGU

44 1 0
                                    




HARI-HARIKU berjalan wajar akhir-akhir ini. Nggak ada tindakan melanggar hukum apa pun yang kulakukan. Aku bahkan nggak pernah terlambat ke sekolah dua minggu ini. Dan sama sekali nggak bikin masalah saat jam matematika. Walapun mencoba bersikap biasa, tetap aja ada perasaan canggung antara aku dan Pak Rio kalau kami bertatap muka setelah kejadian yang berisi adegan setengah bugil itu. Pak Rio nggak pernah nunjuk aku buat ngerjain soal di papan (syukur banget, kan?) dan berbicara denganku cuma kalau benar-benar perlu aja (siapa juga pengen ngobrol sama dia). Jadi intinya, aku dapat untung gara-gara kejadian itu.

Di sisi lain, hubunganku dengan Tommy semakin akrab. Sekarang obrolan kami berkisar tentang aku, bukan cuma tentang Gundam-ku. Kadang-kadang kami ngobrol di kantin waktu jam istirahat atau pas jalan bareng pulang sekolah, sampai beredar gosip bahwa aku jadian sama cowok beken itu.

Putri dan Wulan sempat menanyakan gosip itu padaku, tapi kujelaskan bahwa kami dekat cuma karena sama-sama suka Gundam. Lagian yang benar aja, masa orang pacaran ngomongin Gundam melulu? Tapi rasanya asyik juga, populer karena dikira pacaran sama cowok keren, daripada populer karena berhasil mecahin rekor jadi murid yang paling sering terlambat.

Sementara itu di rumah, Edwin kehabisan ide buat ngerjain aku. Tindakan antusias yang kulakukan mengunci kamar setiap kali aku pergi, juga menyembunyikan barang-barang berharga macam komik dan mainan, membuatnya nggak bisa menjamah benda-benda itu. Sejauh ini cuma kejahatan kecil yang berhasil dia lakukan, seperti memasukkan garam ke minumanku, nyorat-nyoret buku catatanku, merekatkan permen karet di hendel pintu kamar, juga mengambil simpananku di lemari es. Dia juga hobi banget berebutan remote TV denganku. Dia mati-matian mau nonton film kartun kesukaannya waktu aku lagi nongkrongin MTV. Cari masalah aja tuh bocah! Aku bosan ngadu sama Papa-Mama soal ulah Edwin. Mereka paling cuma nyuruh aku sabar dan maklum sama kenakalannya. Namanya juga anak kecil. Anak kecil? Yang benar aja! Dia siluman yang belum berkembang secara fisik.

"Win, kamu ngambil es krim di kulkas, ya?!" seruku dari ruang makan. Nggak ada jawaban. Aku memanggil-manggil maling kecil itu.

"Kenapa, Rin, teriak-teriak gitu?" Mama muncul dari ruang tamu.

"Edwin mana, Ma?"

"Lagi main keluar." Kata mamaku.

"Main keluar? Kemana? Sama siapa?" Aku mengambil air es lalu mencampurnya dengan sirop. Minuman ini bisa menyegarkan tubuhku yang baru bangun tidur siang. "Aku kira dia nggak punya teman di sini." Ujarku.

"Tadi siang, di minimarket ujung jalan, Mama sama Edwin ketemu Nak Rio. Itu lho, keponakan Pak Karta."

Hampir saja aku memuncratkan sirop dari mulutku begitu mendengar nama itu.

"Terus Nak Rio ngajak Win ke rumahnya karena pohon rambutan di sana lagi berbuah," lanjut Mama. "Oh ya, ternyata dia jadi wali kelasmu sekarang. Kok kamu nggak cerita sama Mama, Rin?"

"Bukan soal penting." Aku mengibas-ngibaskan tangan. "Kenapa Mama ngizinin Edwin pergi sama dia? Siapa tahu si Rio itu punya niat jelek sama Edwin."

"Rin, nggak sopan manggil dengan sebutan 'si Rio' begitu. Dia kan gurumu," tegur Mama. "Niat jelek gimana? Orangnya baik dan sopan kok. Dia sempat nolong Mama bawain belanjaan, juga mau jagain Edwin waktu berkeliling."

"Yah...., Mama..... Mama udah ketipu tuh. Dia cuma lagi akting biar dikira orang alim."

"Kamu kenapa sih punya prasangka buruk kayak gitu? Masih dendam soal mangga curian itu? Nggak boleh gitu dong, Rin. Apalagi sekarang Nak Rio itu gurumu," nasihat Mama.

MATEMACINTAWhere stories live. Discover now