Bagian V Mortal

820 17 0
                                    

Sulur mentari pagi mengantar kehangatan dalam lembaran tipis jingganya yang semakin merebak, laksana lotus yang mekar, merekah datang menyambut segalanya. Kehangatan, indahnya alam; kadang manusia lupa dengan apa yang dimilikinya. Selalu mencari keajaiban, padahal hal itu nyata pada setiap harinya, selalu ada di hadapan mereka.

Bernafas, berdetak, hingga terbangun dan berjalan, keajaiban apa lagi yang di harapkan ketika instrumen Tuhan yang paling sempurna tak pernah gagal untuk bekerja. Kicau burung, hembusan angin semerbak, langit biru membentang ditengah cerahnya alam, keindahan apa lagi yang diminta ketika lukisan Tuhan setiap hari nyata di depan mata. Tapi manusia selalu ingin lebih dari segalanya, selalu ingin memiliki semuanya, keajaiban, keindahan, tidak pernah mereka lupa dalam setiap do'anya memohon untuk keajaiban..., keindahan..., sehingga mereka lupa dengan apa yang telah mereka dapatkan di setiap harinya.

Tapi di mata perempuan itu, alam laksana buliran permata yang begitu indah. Tangannya terentang merasakan hembusan angin yang perlahan menerpa tubuhnya. Kicau burung, pepohonan, semua terlihat begitu hidup. Tak ada lagi batasan, tak ada dinding yang menahannya untuk berlari. Kini dia memiliki tangan dan kaki, serta tubuh untuk menikmati semuanya. Walau kulitnya hanya sebuah bahan sintetis buatan, tapi jutaan sensor yang tertanam di bawahnya telah memberi kabar tentang kehangatan, telah memberitakan tentang lembutnya angin. Goresan rumput hijau yang masih basah membelai kakinya. Dengan segera dia melepaskan sepatunya dan menikmati setiap saat ketika pertama kali kaki telanjangnya menyentuh bumi.

"...ibu, lihatlah aku..." gumanya pelan, "kini aku bisa berjalan, kini aku bisa merasakan setiap yang kau rasakan...". Mata lembutnya jatuh pada kepik merah yang terbang mengitarinya, "bahkan aku kini bisa melihat apa yang pernah kau ceritakan...". Kepalanya tertunduk menatap rumput yang bergoyang, dan matanya menjadi redup.

"Ibu, aku rindu kamu..." gumamnya, "bolehkah aku pergi dan menemuimu ?, di peristirahatan terakhirmu ?". Perlahan, sambil menenteng sepatunya, dia mulai berjalan. Tak berapa lama dia tersenyum, "dulu kamu janji untuk menemaniku. Kamu ingin mengajariku manisnya permen yang dulu selalu kamu makan, nikmatnya teh manis yang kau sesap setiap paginya, dan roti bakar dengan banyak selai strawberry di atasnya. Apa aku bisa merasakannya ?" lanjutnya. Cahaya merah tiba-tiba berkedip di lengan kirinya, bintik cahaya merah yang menyala redup, "ah waktuku hanya sekejap, aku harus segera menemui ibu...".

***

"Iya bu, aku tidak apa-apa, hanya saja ternyata aku diharuskan untuk tinggal lebih lama di Jepang..." gumam Andri sambil mengepit telepon selulernya dengan bahunya.

"Lantas bagaimana dengan sekolahmu nak ?" seru ibunya dengan nada khawatir. 

Andri mendesah pelan, untuk sesaat dia menghentikan segala kegiatannya. "Pihak perusahaan NEO Com telah memberikan surat rekomendasi bahwa aku mendapatkan kehormatan untuk melanjutkan sekolahku di sini" gumam Andri dengan mata terpejam, dia sama sekali tidak suka dengan semua kebohongan ini.

"Hanya saja, semua begitu tiba-tiba, ibu harap kamu baik-baik saja" terdengar isak tangis ibunya.

"Tidak apa-apa bu, aku akan baik-baik saja. Do'akan aku ya bu" gumam Andri mencoba untuk lebih ceria, setelah mengucap salam dia pun menutup telephon genggamnya.

Dua buah koper dan yang satu masih terbuka, masih mencoba mengemas semua bawaannya. Tidak terlalu banyak, hanya beberapa helai pakaian yang memang dia bawa waktu pertama kali berkunjung ke negara ini.

"Ah, mainan ini. Deon pasti sedang menunggu kedatanganku..." gumamnya sambil meraih kotak mainan yang dulu pernah di belinya, sebuah kit model robot Gundam yang di pesan adik kecilnya. Andri menggelengkan kepalanya kemudian menyimpan kembali kotak tersebut di atas pembaringan.

V-I Human InterestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang