3. Sesuatu yang Tersembunyi

1.3K 188 30
                                    

Mature content alerts.

Kongpob tak pernah suka jika Arthit mulai mengacuhkannya. Bahkan ketika Mereka sedang bercinta seperti ini.

Salahkan Arthit yang terfokus pada berita di salah satu stasiun televisi. Setelah seminggu tidak bisa bertemu, perhatian Arthit malah terfokus pada wartawan yang melaporkan kematian beruntun yang belum diketahui siapa tersangkanya.

"Ah! Kongpob! Pelan-pelan!" Arthit memekik memperingatkan.

Kongpob merenggut. "Aku ingin P'Arthit memperhatikanku!" ujarnya seraya merengek.

Tangan Kongpob terjulur mengambil remote lalu mematikan televisi. Arthit hendak protes tapi segera dibungkam dengan ciuman panas yang menuntut. Televisi yang tadinya dibiarkan menyala untuk meredam desahan di ruangan berbalik menjadi pengganggu. Tapi kini,  semua sudah teratasi.

"Kita-ah! Butuh informasi terkini nnh.."

"Nanti saja,"

"Kalau ahhn.. terjadi apa-ah-apa, kita bisa hh.. cepat tanggap,"

Pinggul Kongpob tak berhenti mendorong, maju dan mundur, membuat Arthit kesulitan mengucap kata.

"Harus hhng.. cepat selesaikan yang ini dulu P'"

"Kongpob!"

Pukulan di dada yang begitu kuat membuat Kongpob akhirnya kesal. Ia berhenti untuk memandang marah Arthit karena seniornya kini membuat moodnya turun. "Apa sih, P'Arthit?"

"Kita harus berjaga-jaga. Berita seperti itu tidak boleh disepelekan. Pelaku kejahatan ada dimana-mana," nasehat Arthit. Pipinya masih dalam fase merona. Kongpob menciumnya gemas.

"Setidaknya tidak di dekat kita,"

"Kalau ternyata aku pelaku kejahatan, bagaimana?" Pertanyaan itu menghentikan Kongpob yang baru saja akan kembali melanjutkan kegiatan tertunda mereka.

"Memang P'Arthit melakukan apa?"

Arthit menggedikan bahu. Apa saja bisa ia lakukan. "Kau menculik? Kau pengedar?" Pertanyaan itu terdengar menggelikan di telinganya. "Kau pemerkosa?"

Arthit memukul bahu Kongpob yang lebar. "Akulah yang kau perkosa di sini!" sentak Arthit. Kongpob terkekeh geli.

"Kalau aku selingkuh, apa itu juga tindak kejahatan?"

Kongpob berhenti tertawa. Matanya menatap Arthit awas. Sekejap kehangatan pancarannya hilang tak berbekas, sedikitnya membuat Arthit bergidik. Benar-benar pertanyaan yang salah.

"Oke, oke, ganti pertanyaan." Arthit mengusap dada bidang itu, mencoba meredakan cemburu yang datang menerjang. "Kalau aku sudah membunuh orang bagaimana?"

Kongpob mendengus, dilumatnya bibir Arthit hingga membengkak. "Satu-satunya kejahatan yang kau lakukan adalah mencuri hatiku,"
Jawaban itu membuat Arthit menghela nafas, terbiasa dengan gombalan remeh kekasihnya.

"Tapi kalau kau benar melakukan kejahatan serius, maka aku akan...-" Kongpob merengkuh tubuh Arthit lebih erat, lalu berbisik rendah tepat di telinga yang kian memerah.

Mendengarnya Arthit tersenyum. Di belainya rambut yang berantakan, jemarinya menyentuh paras tampan yang selalu ia puja. Arthit menengadahkan wajah, diraihnya leher Kongpob sebelum mempertemukan bibir mereka dalam ciuman yang lembut.

'Aku mencintaimu, Kongpob.'

APOGEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang