Hari Kamis pukul 05.50, Rianda tiba di sekolah. Ia memasuki kelas.
“Assalamualaikum,”ucap Rianda.
Tidak ada yang menjawab salamnya. Ternyata di dalam kelas memang tidak ada siapa-siapa.
Rianda merasa heran. “Fiyan tumben sekali,” ucap Rianda. Tas Fiyan juga tidak ada di bangkunya yang berarti ia belum sampai ke kelas.
. . . . .
David sedang menuju kelasnya. Ia lalu bertemu Beni. “Beni !,” panggil David.
“Eh, David,” jawab Beni.
“Aku diberitahu Fiyan bahwa dronenya sudah selesai,” ucap David.
“Oh iya, itu sudah berfungsi dengan baik. Ada di rumahku sekarang,” balas Beni.
“Wah.. aku sangat berterima kasih, Beni,” ucap David.
Beni tersenyum. “Berterima kasihlah pada teman-teman yang lain juga. Mereka juga ikut berperan memperbaiki itu,” ucap Beni.
“Iya, nanti aku akan menemui Bram dan Rocky,” jawab David. “Em.. bolehkah aku ke rumahmu nanti sepulang sekolah untuk mengambilnya ? Aku tadi sudah berjanji pada Randy,” tanya David.
“Oh, boleh, tentu saja,” jawab Beni.
. . . . .
Saat istirahat, David pergi ke kelas X MIPA 2. Ia mencari Fiyan. Rianda lalu muncul dari dalam kelas.
“Eh, Dave,”
“Rianda ...,”
“Sedang apa ?,” tanya Rianda.
“Aku mencari Fey,” jawab David.
“Ooh, Fiyan tadi langsung keluar bareng teman-temannya,” jelas Rianda.
“Kira-kira mereka pergi kemana ?,”
“Entahlah, aku tidak tahu,”
“Ooh ...,”
“Memangnya, ada apa Dave ?,” tanya Rianda.
“Aku mau mengajaknya menemui Randy nanti sepulang sekolah,” jawab David.
“Ooh ...,” balas Rianda.
“Baiklah, aku akan mencarinya di tempat lain. Sampai jumpa,” pamit David.
“Sampai jumpa,” balas Rianda.
. . . . .
Saat jam istirahat ke-2, Rianda dan Alin pergi ke kantin bersama.
“Oh iya Rianda, kamu sudah dengar tentang berita perampokan bank ?,” tanya Alin.
“Peramokan bank ? Aku belum dengar,” jawab Rianda.
“Padahal kejadiannya masih di sekitar kota ini lho,” ucap Alin.
“Benarkah ? Apa pelakunya sudah tertangkap ?,”
“Masih belum, pelakunya membawa senjata yang berbahaya,”
“Senjata berbahaya ?,” Rianda teringat pada Magic gun. “Apa mungkin TIVES ?,” Rianda bertanya dalam hatinya. “Aku harus mencari tahu soal ini,” pikir Rianda.
. . . . .
Bel pulang berbunyi, seluruh murid keluar dari sekolah. Rianda berjalan pulang sendirian.
“Apa aku harus ke tempat itu lagi ?,” pikir Rianda. “Aku harus mencari tahu soal TIVES, tapi ...,” Rianda menghela nafas. “Andai saja ada Fiona,”
Di jalan, Rianda melihat Fiona. Fiona juga berjalan sendirian. Rianda hendak menghampirinya. Ia agak ragu. “Apa aku harus menghampirinya ?,” ucap Rianda.
“Apa dia bisa memaafkanku ?,” Rianda masih merasa bersalah. Rianda lalu menghilangkan keraguannya. “Fiona !,” panggil Rianda. Ia sedikit berlari menghampiri Fiona.
Fiona menoleh sedikit, tapi tak menjawab. Ia mempercepat langkahnya. Tampaknya, ia ingin menghindari Rianda. Ia menyeberang jalan sehingga Rianda tak dapat mengikutinya.
. . . . .
Rianda sampai di tempat kosnya. Ia menaruh tas dan sepatunya lalu mandi. Setelah itu ia berganti pakaian. Ia sudah sholat Ashar di sekolah tadi.
Ia tetap berada di kamar. Rianda membaringkan tubuhnya di kasur. Rasa-rasanya, ia hendak merenung.
“Tok ! Tok !,” suara ketukan pintu. “Assalamualaikum,” suara seorang cowok. Rianda bangkit dan membuka pintu. “Wa’alaikusalam,” jawabnya.
“Eh, David,” Rianda menatap David. “Ada apa ?,” tanya Rianda.
“Emm.. hari ini aku tidak bertemu Fiyan sama sekali. Aku jadi tak bisa mengajaknya,” jawab David. “Apa kau mau menemaniku menemui Randy ?,” tanya David.
“Emm ...,” Rianda mengangguk. David tersenyum. Mereka lalu berangkat. David akan menemui Randy di lapangan dekat sekolah.
. . . . .
David dan Rianda tiba di lapangan. Tak lama kemudian, Randy juga tiba diantar mobilnya.
“Hai Randy !,” sapa David.
“Hai !,”
“Emm.. perkenalkan ini Rianda,” ucap David.
“Hai,” sapa Rianda. Ia menyalami Randy.
Randy melihat ke arah drone David. Ia menghampirinya. “Jadi, kau benar-benar memperbaikinya ?,” tanya Randy tak percaya.
“Ya, sebenarnya ini juga berkat bantuan teman-teman,” jawab David.
Randy mengambil remot kontrol drone itu. Ia menjalankannya. Drone berbentuk pesawat itu terbang dan bergerak sesuai arahan. “Wah ! ini benar-benar berfungsi,” ucap Randy.
“Aku sangat menghargai ini, David.,” ucap Randy. “Sebenarnya sih tak perlu sampai begini. Lagipula aku juga tidak marah kalau benda ini rusak,” lanjutnya.
“Aku hanya berusaha tak mengecewakan temanku,” balas David.
. . . . .
Sementara itu, Fiyan masih belum pulang. Ia duduk di salah satu bangku taman kota. Ia masih memakai seragam sekolah. Ia sedang memikirkan sesuatu.
“Sepertinya Dave dan Rianda memang saling menyukai ya ?,” Fiyan memegang dahinya. “Astaga, ada apa denganku ? Aku tidak harus cemburu pada mereka,” Fiyan menghela nafas.
Fiyan membuka tasnya. Ia mengambil sebuah buku. Ia lalu membacanya. Seseorang datang mendekatinya.
Fiyan tersadar. Ia melihat sosok di dekatnya. “Alin ?,” ucap Fiyan. Alin nampak masih memakai seragam. “Kamu belum pulang ?,” tanya Fiyan.
“Belum. Kamu juga sama, kan ?,” balas Alin.
“Em.. tumben. Ada apa ?,” tanya Fiyan.
“Rianda bilang hari ini kamu agak berbeda,” jawab Alin. “Aku yang harusnya bertanya ada apa ?,”
Fiyan tak menjawab. Ia menatap Alin. Ia bisa melihat kekhawatiran Alin. Fiyan lalu mengalihkan pandangannya. “Maaf Alin, aku tak ingin cerita tentang itu,” ucapnya.
. . . . .
Randy, David, dan Rianda berbincang-bincang di lapangan.
“Oh ya, ngomong-ngomong ...,” Randy mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda itu mirip flashdisk.
“Apa itu ?,” tanya David.
“Oh, tadi teman ayahku yang memberikannya. Sebenarnya aku juga baru kenal sih. Dia bilang kalau memasukkan ini kedalam drone, maka akan terjadi hal luar biasa. Karena aku tertarik, jadi aku menerimanya,” cerita Randy. “Bolehkah aku memasang ini di drone-mu ?,” tanya Randy.
“Boleh,” jawab David. Randy lalu hendak memasang benda itu.
“Tunggu,” ucap Rianda. “Kau bilang tadi kau baru mengenal orang itu ?,” tanya Rianda.
Randy terdiam sejenak. Ia terlihat berfikir. “Kurasa tidak apa-apa. Teman ayahku itu banyak. Aku belum mengenal semuanya,” jawab Randy. Sebenarnya Randy juga agak ragu. “David, aku boleh memasang ini kan ?,” tanya Randy sekali lagi.
“Jika kau menghendakinya, lakukanlah,” jawab David.
Randy lalu memasang benda itu ke drone. Drone itu terbang. Drone itu bergerak tanpa dikendalikan.
“Cass !,” tiba-tiba drone itu menembakkan sesuatu dan hampir mengenai Randy. Randy sangat terkejut. Drone itu hendak menembak lagi. David dengan cepat menggunakan magicfly-nya untuk menghadang tembakan.
“Apa-apa an itu !,” ucap Randy. David dan Rianda berpandangan panik.
“Cass ! Cass ! Cass !,” David terus menghalau tembakan. Kemudian drone itu mulai menembak ke seluruh arah. “Ayo bersembunyi !,” ajak David. Mereka berlari menuju sebuah pohon. Drone itu mengejar mereka.
“Cass !,” Rianda terkena tembakan di lengannya. “Cass !,” Randy tertembak di kakinya.
David segera mengerahkan seluruh magicfly-nya untuk menyerang drone itu. Ternyata tidak mudah untuk menjatuhkan drone itu. “Cass !,” David terkena tembakan di lenganny. Tapi, ia terus menyerang drone itu.
Randy melempar sebuah batu ke drone itu. Tapi hanya menggores sedikit. David mengummpulkan magicfly-nya dan memfokuskan pada satu serangan. “Crash !,” drone itu terbelah dan terjatuh.
David, Rianda, dan Randy mendekati drone itu. Drone itu sudah benar-benar rusak.
“Apa mungkin itu ...,” ucap Randy.
Rianda melihat luka tembakannya. “Ini.. magic energy,” ucapnya.
“Apa itu ? Kau tahu tentang ini ?,” tanya Randy.
David mengambil benda mirip flashdisk tadi. “Energi ini tidak berasal dari sini. Tapi jika sudah seperti ini ...,” ucap David.
“Ini pasti ulah TIVES,” lanjut Rianda.
“TIVES ?,” Randy masih bingung.
“Perampokan di bank. Kemungkinan mereka pelakunya,” jelas David.
“Jadi maksudmu benda ini sama seperti senjata yang di perampokan itu ?,” tanya Randy. David mengangguk.
“Randy, orang yang memberimu benda ini, siapa namanya ?,” tanya Rianda.
Randy terdiam sejenak. “Seno Atmaja,” jawab Randy. “Tapi ...,”
“Kemungkinan itu bukan nama aslinya,” David melanjutkan.
“Dave, kita harus pergi ke Daun Sejajar. Kita harus laporkan ini,” ucap Rianda.
David menghela nafas. “Hari ini sudah senja. Kita akan kesana besok,” ucap David.
. . . . .
Esok harinya pukul 05.45, Fiyan sudah tiba di sekolah. Ternyata ia tidak langsung menuju kelas. Ia berjalan menuju ke perpustakaan.
David juga sudah tiba. Ketika ia melihat Fiyan, ia langsung memanggilnya. “Fey !,”
Fiyan tak berhenti. Ia sedikit mempercepat langkahnya. David lalu memegang tangan Fiyan dan menariknya. Mereka saling berhadapan. David menatap Fiyan. Tapi Fiyan hanya menundukkan kepalanya.
“Fey,” ucap David. “Aku belum sempat berterima kasih padamu, soal drone itu,” lanjut David.
Fiyan tak menjawab. Ia tetap menunduk. Ia lalu berjala meninggalkan David.
David tidak beranjak. “TIVES sudah memulai rencananya. Aku membutuhkan bantuanmu, Fey,” ucap David.
Fiyan tak menjawab dan terus melangkah.
“Aku akan pergi ke Desa Daun Sejajar nanti. Maukah kau ikut ?,” tanya David.
Fiyan berhenti. Ia melirik ke belakang. Rasanya ia hendak berucap. Namun ternyata tidak. Ia kembali melanjutkan langkahnya.
. . . . .
Sore harinya, David dan Rianda pergi ke Desa Daun Sejajar. Mereka hanya pergi berdua. Ketika sampai, mereka langsung menuju rumah Ersa. Reon, Zane, dan Ersa menunggu disana. Pertama, mereka saling bersalaman terlebih dahulu.
“Dimana Fiyan ?,” tanya Zane.
“Emm.. dia tidak ikut,” jawab David.
“Ooh ...,”
“Jadi, kalian punya info baru ?,” tanya Reon.
“Oh iya. Beberapa hari yang lalu terjadi perampokan bank di Exorta,” cerita Rianda.
“Oh, kami tahu itu. ARUM corps, sudah mengirim orang untuk menyelidikinya,” balas Reon.
“Dan hasilnya memang benar. Perampok itu menggunakan senjata magic gun,” lanjut Zane.
“Saat ini mereka sedang mencari pelakunya,” tambah Ersa.
“Ooh ...,” balas David. “Selain itu ...,” David mengeluarkan benda di sakunya.
“Apa itu ? Flashdisk ?,” tnaya Zane.
“Saat benda ini dipasang pada drone, drone itu menyerang membabi buta,” jelas David.
“Boleh kulihat ?,” pinta Ersa. David memberikannya. Ersa menscan benda itu dengan arlojinya. “Eh, benda ini mengandung magic energy,”
Reon dan Zane juga terkejut. “Darimana kau dapat itu ?,” tanya Reon.
“Temanku, Randy. Ia diberi orang asing,” jawab David.
“Orang asing siapa ?,” tanya Zane.
“Emm.. namanya Seno Atmaja. Tapi aku curiga bukan nama asli. Ia mengaku sebagai teman ayah Randy,” jelas David.
Reon dan Zane saling berpandangan. “Tunggu dulu, sebenarnya ayah Randy itu siapa ? Apa dia orang penting ?,” tanya Reon.
“Dia adalah direktur OOO corps, . salah satu perusahaan besar di Exorta,” jawab David.
Reon dan Zane kembali berpandangan heran. “Ersa, bisa tolong carikan data tentanf Seno Atmaja ?,” pinta Reon.
“Itu tidak mudah, tapi akan kuusahakan,” Ersa mulai bekerja dengan gadgetnya.
“Lalu benda ini ...,” ucap Zane.
“TIVES. Kemungkina itu ulah mereka,” ucap Rianda.
“Kau yakin ? Apa mungkin TIVES mampu membuat ini ? Aku mulai berpikir kalau ...,” ucap Zane.
“Ada campur tangan perusahaan,” Reon melanjutkan.
“Tapi, mana mungkin ?,” ucap David.
“Itu bisa saja,” balas Reon.
“Ini dia !,” ucap Ersa. “Apa ini orangnya ?,” tanya Ersa seraya menunjukkan gadgetnya.
“Emm.. sebenarnya kami tidah tahu wajahnya,” ucap Rianda.
“Ooh ..., kalah begitu akan kukirim data ini ke kalian. Barangkali akan berguna,” balas Ersa.
. . . . .
Setelah membahas banyak hal, David dan Rianda pamit pulang.
“Astaga, selanjutnya apa ? Apa yang harus kita lakukan ?,” ucap Reon sambil melihat flashdisk itu.
Zane dan Ersa hanya diam. Mereka nampaknya memikirkan sesuatu.
“Hei ! Apa yang sedang kalian pikirkan ?,” tanya Reon.
“Emm ...,” Ersa ragu.
“Kenapa Fiyan tidak ikut ?,” ucap Zane.
“Hah ?,” Reon heran.
“Padahal Fiyan itu sahabta baik David. Fiona juga, ia sahabatnya Rianda selama di Exorta,” ucap Zane.
“Fiyan juga tidak menge-chatku beberapa hari terakhir,” ucap Ersa.
“Apa itu penting ?,” Reon semakin heran.
“Satu hal lagi. Kenapa David dan Rianda datang kesini berboncengan ?,” ucap Zane.
Reon terdiam mendengarnya. “Apa mereka ...?,”~To be continued to Eps. 9
KAMU SEDANG MEMBACA
Couple Puzzle
FantasyZane dan Rianda adalah kunci kisah ini. Zane adalah anak SMAN 8 Kota, sedangkan Rianda adalah anak SMAN 2 Kota. Mereka memiliki kehidupan yang berbeda. Kisah dan nasib mereka berbeda. Namun karena satu masalah ini, mereka harus menyatukan tangan mer...