Prolog

313 26 1
                                    

"Sya, coba lihat dedaunan pohon-pohon yang melambai ke kita," kataku memecah kesunyian.
"Bukan, atau mungkin mereka hanya ingin mencairkan suasana ini, Fee," tutupnya.
"Enak yah jadi daun."
"Apanya yang enak?"
"Mereka hanya butuh angin untuk bergerak tanpa alasan. Seakan-akan semuanya berjalan dengan baik."
"Tidak seperti yang kau duga, Fee."
"Hah?"
"Semua hal yang terjadi selalu butuh alasan. Dedaunan itu pada nyatanya hanya pasrah dan selalu menunggu. Bertanya kapan angin akan datang mengajaknya menari."
Ku bangun menghadapkan wajahku ke arahnya. Oh tidak, dia berbicara sambil menutup mata. Mengapa sepasang kelopak mata itu sangat indah? Mengapa bulu matamu terlihat sangat senang disentuh angin?
"Apa yang kau lihat?" Sebelum ku tersadar dalam lamunanku, Ifsya tiba-tiba melihatku.
"Tidak ada," ku kembali berbaring di atas pasir sambil menghadap ke langit.
Obrolan singkat di senja kala itu. Di pantai yang sejuk dan sunyi. Hanya ada nyiur pohon kelapa dan suara ombak yang memecah suasana. Sementara itu, kami baring berseberangan di atas pasir putih. Memandang langit jingga yang ingin berganti warna. Tak ada orang-orang, hanya kami yang tau pantai itu. Pantai yang hanya kami berdua yang tau. Pantai yang menjadi saksi dan bukti sejarah akan kisah dari perasaan yang tak dapat ditebak.
'Tuhan, andai saja waktu dapat berhenti. Ku tidak ingin pergi mengubah masa lalu ataupun berangkat untuk melihat masa depan. Bukan itu. Inginku hanya satu: bersama dengannya lebih lama.'

365 Days of Silent FellingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang