4 - Laundry Kang Oman

100 7 0
                                    

"Aaahh~"

     15:48 WIB. Akhirnya ku rebahkan badanku di atas kasur kesayanganku. Kasur yang menjadi tempat pelampiasanku di kala aku sedang kelelahan. Menjadi saksi bisu di setiap kali aku meluapkan segala bentuk emosi ku. Ah, intinya kasur ini sudah menjadi temanku sendiri.

     Seharian di sekolah baru cukup melelahkan. Kak Ariel juga memberikan kami beberapa tugas yang ku rasa cukup mudah untuk dikerjakan. Gugus satu cukup menarik untuk hari pertama PLS ini. Bisa ku akui bahwa Kak Ariel sangat baik dalam mengendalikan gugus yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

     Seragam SMP masih terpasang di badanku. Terlalu lelah untuk segera melepaskannya. Ragaku serasa masih ingin terlena di atas kasur sampai merasa segar kembali. Kembali teringat apa yang sudah terjadi hari ini. Tersesat hingga ke perpustakaan, bertemu dengan Shafel si teman SMP ku dulu yang baru, dan—

"Ifsya!"

     Seketika itu lamunanku terhenti. Aku mencari botol yang sempat diberikan Ifsya padaku pagi tadi. Sebenarnya bagiku botol itu tidak terlalu penting. Namun ketidak pentingan itu membuatku semakin penasaran akan apa yang ia tulis.

     Badanku yang tadinya berada di atas kasur, terbangun dan segera mendekat ke tas ransel berwarna krem ku. Tanganku yang meraih dan membuka resletingnya semakin memburu rasa penasaran yang tak kunjung hilang. Padahal itu hanya sebuah tulisan biasa. Cukup lama tanganku membongkar isi tas ku. Ku raba buku ku satu persatu hingga di mengocek kantung dalam tas ku dan akhirnya tidak ada tanda-tanda akan keberadaan botol itu.

     "Ah! Botolnya ketinggalan," ketus ku.

     Tak lama setelah itu, Mama datang membuka pintu kamarku.

     "Fira, bisa tolongin Mama, nggak?"

     "Tolongin apa, Ma?" ujarku.  Menolong Mama ku adalah hal yang selalu ku lakukan. Sebab, aku selalu ingin menjadi putri yang terbaik untuknya. Aku ingin membuatnya menjadi sosok yang istimewa bagi putrinya. Tak terkecuali, hal yang sama juga ku lakukan pada Ayahku. Dan aku menyukai hal itu.

     "Tadi Mama habis bantu Bi Saji di rumahnya. Mau bikin acara syukuran rumah barunya. Jadi Mama tadi ga sempat nyuci baju dan bawa pakaian kamu ke laundry. Bisa tolong ambilin, ga, sayang?" balasnya sambil tersenyum. Ah Mama ini selalu saja pandai merayu, batinku.

     Bi Saji adalah tetangga baru ku. Ia masih berhubungan darah dengan keluargaku. Ya, walaupun agak jauh, tetapi kami tetap selalu dekap. Dulu, ia tinggal di Yogyakarta. Sekarang, ia tinggal di rumah barunya—jarak tiga rumah dari samping kiri rumahku—di salah satu perumahan di Jakarta.

     "Iya, Ma. Bentar, ya, Aku ganti baju dulu."

     "Oke. Makasih ya, Fira. Oh iya, Bi Saji titip salam sama kamu," ujarnya.

     "Iya, Ma."

     Mama kembali mengucapkan terima kasih sambil menutup pintu kamarku. Senyumnya pun tak luput dari wajahnya yang selalu sayu. Ia adalah Mama ku, dan ia selalu saja tersenyum.

***

     Mobil ku melesat di antara kerumunan kendaraan lain. Sesekali macet, namun tidak terlalu parah. Tempat laundry itu memang cukup jauh, namun karena kami sudah berlangganan di sana dan sudah dekat dengan pemiliknya, maka jarak bukan menjadi masalah.

     Setelah 20 menit, aku sudah sampai di tempat laundry. Nama pemiliknya adalah Kang Oman. Dia memiliki darah Mesir dan usianya sudah lebih dari 60 tahun. Namun karena wajahnya yang selalu menunjukkan ekspresi bahagia, jadi tidak terlalu nampak kerutan wajahnya yang melambangkan usianya yang semakin menua. Kami cukup dekat. Ia selalu memanggilku dengan nama Ira, bukan Fira. Karena katanya, wajahku mirip dengan almarhuma istrinya, Ira. Menjadi suatu kehormatan dan kesenangan tersendiri saat mendapatkan perlakuan seperti itu dari Kang Oman.

     "Eh, Dek Ira datang. Mau ambil laundry-an Mama tadi, yah?" sapanya.
     "Hehe, iya, Kang. Barusan aja disuruh sama Mama. Oh iya, Kang, semuanya berapa, ya?" balasku sambil mengambil dompet di tas selempang hitam ku.
     "Semua jadi 20 ribu saja, Dek Ira. Bentar ya, Dek. Saya ambil barang kamu dulu," ujar Kang Oman sambil berjalan cepat mengambil pakaian laundry-an yang hanya berjarak 5 meter darinya. Begitulah Kang Oman, ramah, lucu, dan sangat bersahabat. Ah, jadi teringat alharhuma istrinya. Mereka dulunya adalah pasangan yang setiap hari terlihat bahagia.

     "Kang Oman, hari ini lancar, gak?"

     "Alhamdulillah, Dek. Lancar Jaya lah kayak jalan tol, hehehe," balas Kang Oman sambil membawa tote bag merah berisi pakaian yang sejak tadi Mama bawa. Oh iya, satu lagi, tempat laundry Kang Oman banyak disukai orang-orang—selain karena Kang Oman yang ramah dan harga yang terbilang murah, Kang Oman selalu mengedepankan kebersihan tokonya. Bahkan, untuk pelanggannya, ia menggunakan tote bag untuk membungkus pakaian agar mengurangi penggunaan kantung plastik. "Ini, Dek Ira, pakaiannya," katanya ramah sambil menyodorkan barang laundry-an ku.

     "Oh iya, Kang. Terima kasih banyak, ya. Semoga sampai nanti malam dan seterusnya tetap lancar jaya, hehehe," balasku sambil mengambil tas berisi pakaian tadi.

     Tak lama berselang, aku pamit dengan Kang Oman. Selalu saja Kang Oman tersenyum dan ramah pada ku dan setiap pelanggannya. Pantas saja Laundry Kang Oman selalu ramai pelanggan.

     Akhirnya, aku mengucapkan selamat tinggal pada Kang Oman dan berjalan menuju mobil ku yang sedari tadi terparkir rapi. Aku menaruh tas tadi di kursi samping kiri ku. Setelah membenarkan posisi spion di hadapanku yang tadi sempat ku pakai bercermin, aku melajukan kendaraanku menuju jalan raya.

     Semakin sore, macetnya makin parah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 16:45 WIB. Karena aku tak membawa ponsel, radio yang sedari tadi menemaniku di jalan mulai ku besarkan volume suaranya. Terdengar lagu "La Vie Un Rose—Cover by Renee" di sana. Kawan, jika kau mengenal betul diriku, kamu akan merasa terbiasa mendengar ku menyenandungkan lagu-lagu lawas dari berbagai negara. Termasuk Inggris Raya, Prancis, Jepang, hingga negeri tercinta Indonesia. Entah mengapa, telingaku merasa lebih pas disajikan lagi lawas dibanding lagu masa kini.

     Setelah beberapa menit, akhirnya kondisi jalan raya semakin bersahabat. Mobil ku mulai melaju dengan lancar. Terlihat beberapa gedung tinggi yang terkena bayangan senja terlihat menarik. Terlewat beberapa bangunan dan rumah yang sudah tidak asing bagiku. Ya, ini jalur ke sekolah yang sering ku pakai. Oh iya, aku lupa mengatakan bahwa Laundry Kang Oman sejalur dengan sekolah baru ku. Terlihat dari jauh papan nama sekolah baru ku yang semakin mendekat. Terlihat masih ada beberapa siswa yang menunggu jemputan mereka. Ku duga beberapa dari anak OSIS yang habis briefing dan membereskan tugasnya, dan ada juga anak yang berpakaian SMP tengah duduk memakan cilok sambil menunggu.

     "Yah, jadi teringat pagi tadi," kataku dengan santai sambil memikirkan kegiatan yang melelahkan di sekolah tadi.

     Tiba-tiba mobilku mengerem. Beruntung tidak ada kendaraan di belakangku. Sontak aku berteriak dalam mobil, "Ah iya! Sekolah!"

***
—unf

365 Days of Silent FellingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang