8 - Beda

19 0 0
                                    

"Ayah!" Aku berlari ke arah mobil ayah yang baru saja datang menjemputku.

"Gimana sekolahnya?" ujarnya saat aku masuk ke dalam mobil.

"Baik-baik saja, ayah."

"Sudah punya teman?"

"Kalau teman...ah! Ada satu orang cowo. Cuma baru kenalan aja sih. Kalau ke cewe, mungkin ke depannya aku bakalan nemu sendiri, yah."

"Hm, cowo, ya?" tanya ayah yang mulai memasang persenelan mobil.

"Iya, ayah. Ga boleh, ya?" tanyaku khawatir.

"Ah, enggak, kok. Enggak. Kamu boleh berteman sama siapa saja. Tapi pesan ayah satu saja," ujarnya mulai menginjak pedal gas mobil, "jaga diri baik-baik. Ayah percaya sama kamu."

"Iya, ayah. Kalau itu mah pasti dong, hehe."

Ayahku memang orang yang paling baik.

"Tapi, yah, dia rada misterius gitu." Aku langsung menceritakannya pada ayah.

Ayah masih menyetir mobil lalu menoleh sekejap padaku, "misterius bagaimana?"

"Dia...hampir mirip sama aku."

"Hah?" Ayah bingung sekaligus tertawa sejenak.

"Ih...Iya, ayah. Masa kami sering ketemu di tempat yang ga keduga? Kayak di belakang sekolah. Terus dia kadang ramah, kadang juga rada cuek."

"Kamu suka, ya?" goda ayah.

"HEH?! Siapa juga yang bilang suka dia, yaaah?!" geramku sambil memasang muka cemberut.

"Haha, iya, iya, kamu terlalu serius, sih. Ayah kan bercanda, ih." Ayah mengacak-acak rambutku.

Aku tetap cemberut mendiami ayah.

Ayah yang mulai tersadar aku diami, mulai angkat bicara lagi.

"Jadi kamu ceritanya marah, nih, sama ayah?" ujar ayahku sembari menoleh.

Sebenarnya aku juga cuma bercanda mendiami ayah. Tapi karena sudah seperti ini, aku tetap mendalaminya sambil sedikit tertawa dalam hati.

Ayah kembali bersuara "Oh yaudah. Ayah juga ngambek. Gausah ayah jemput lagi setiap hari."

Seketika itu aku mulai angkat bicara "Heeeeeh, ayah! Kan aku juga bercanda. Kayak ayah tadi. Ih...!"

"Hahaha."

Ayah tertawa

Aku juga.

Kami berdua tertawa. Begitulah kami. Ayahku adalah teman terbaik.

***

"Halo, Fee?"

Suara itu. Aku kenal suara di ujung telepon yang baru saja membangunkanku dari tidurku.

"Tidur sampai magrib?", tanyanya di ujung telepon dengan nada sinis ala dia.

"Kenapa, Sya?", balasku yang tak peduli pertanyaan sebelumnya.

"Aku di depan rumahmu."

"HAH?!", mataku langsung terbelalak. Segera berlari mengecek melalui jendela kamar.

Gawat, benar, ada dia.

"Ngapain?!" sambungku dengan nada yang kesal karena bingung.

Dia menyadari, bahwa aku melihatnya. Ia bisa mengetahui jelas diriku dari bawah sana tepat dengan melihat jendela kamarku.

"Makan, yuk?"

"HAH?!" aku semakin heran.

"Aku sudah izin ke ayahmu. Tenang saja," seperti biasa, ia membalas pertanyaanku yang belum sempat kulontarkan.

365 Days of Silent FellingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang