Tiga hari sudah berlalu sejak hari itu. Jovan dan Kezya saling mogok bicara. Hari Sabtu dan Minggu kemarin Jovan hanya menghubungi Kezya sesekali lewat pesan singkat. Jovan tidak menjemputnya di Der Rhein atau pun mengajaknya pergi berkencan. Kezya pun juga sama. Dia hanya membalas pesan Jovan singkat-singkat. Dia masih butuh waktu. Dia masih mencari cara yang tepat untuk menyampaikan ketidaktenangannya atas apa yang dia hadapi setelah berpacaran dengan Jovan. Dia takut salah menyampaikan lagi seperti kemarin yang malah membuat mereka jadi bertengkar seperti sekarang.
Jam tangan di pergelangan tangan kiri Kezya sudah menunjukkan pukul empat sore. Kezya duduk di salah satu meja kosong di kantin SMA Chandrakirana seorang diri. Farah sudah pulang duluan dijemput oleh Raihan. Jovan juga sudah meninggalkan sekolah sejak istirahat kedua tadi karena dia ada jadwal on air di sebuah radio untuk promosi film barunya. Kalaupun Jovan tidak izin dari sekolah Kezya tidak yakin dia akan pulang bersama Jovan seperti biasanya. Jumat lalu saja setelah mereka sedikit bersitegang di jam istirahat itu mereka tidak pulang bersama meski Jovan tetap menunggui Kezya di depan kelasnya. Kezya menolak ajakan Jovan sore itu.
Kantin sore ini masih ramai oleh beberapa siswa yang memang betah sekali berlama-lama di sekolah. Beberapa konter makanan di sana juga sebagian besar masih buka. Hanya tiga konter yang sudah tutup beroperasi karena dagangan mereka sudah habis setelah jam istirahat kedua tadi. Kezya menyeruput sedikit demi sedikit es teh manis yang dibelinya sebagai teman menunggu hingga Aga yang menjemputnya datang. Tangannya bergerak dengan lihai di atas lembar buku sketsanya menggambar sesosok wajah yang menjadi pujaannya sejak beberapa bulan lalu. Dia tak bisa membohongi hatinya bahwa dia merindukan sosok itu. Hanya lembar buku sketsanya yang hampir habis yang bisa menjadi wadah curahan kerinduaannya akan Jovan.
Selesai bermain-main dengan buku sketsanya untuk membunuh kejenuhan, Kezya masukkan buku itu dan juga kotak pensilnya ke dalam tas. Pandangannya dia edarkan ke seluruh sisi yang luas dan dipenuhi dengan beberapa meja dan bangku kayu panjang yang sepi dan hampir kosong. Aga belum juga memberi kabar kalau dia sudah sampai di depan sekolah.
"Hey, Key. Kebetulan banget lo ada di sini." Seseorang tiba-tiba muncul menepuk bahunya dari belakang kemudian duduk di sebelah Kezya tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Kezya dan kemudian meletakkan Jansport hitamnya di atas meja.
"Hey, Raka," balas Kezya. Ekspresi wajahnya menyiratkan seribu pertanyaan ada apa gerangan Raka si ketua pensi yang supersibuk akhir-akhir ini mengurus persiapan acara terbesar di sekolah mereka tiba-tiba menghampirinya di kantin. "Ada apa ya?"
"Barusan gue rapat pensi sama panitia yang lain. Kebetulan kemarin wakil koordinator divisi dekorasi kita mengundurkan diri karena dia nggak dapat izin dari orangtuanya untuk jadi panitia gara-gara fisiknya lemah dan gampang sakit kalau kecapekan. Mau bagaimana lagi kita harus terima dan cari penggantinya. Pas rapat tadi Ranggi, koordinator dekor, ngusulin nama lo untuk jadi pengganti Mita. Menurut dia lo kompeten untuk gantiin posisi Mita. Lo kan pinter gambar, kreatif juga. Cocok banget lo untuk masuk divisi ini," jelas Raka. Wajahnya menyiratkan penuh harap.
Kezya diam sejenak. Keningnya berkerup, bingung. Seluruh sekolah memang sudah tahu kalau Kezya hobi menggambar, semua gara-gara Jovan yang tanpa seizin Kezya menempelkan hasil gambar Kezya di mading. Tidak mengherankan kalau sekarang Raka menawarkan posisi sebagai wakil koordinator dekorasi pensi untuk Kezya.
"Gimana? Mau nggak kira-kira?" Tanya Raka karena sedari tadi Kezya belum memberikan respon sama sekali.
"Kenapa harus gue? Panitia lain nggak ada yang bisa gantiin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CRUSH 2
Teen FictionMenjadi pacar Jovan Meier ternyata membuat PR hidup Kezya semakin bertambah. Bertahan untuk tidak merasa tersakiti ternyata lebih sulit kebanding dia harus menyelesaikan setumpuk soal Bahasa Jerman. Memutuskan untuk menjadi pacar Jovan berarti harus...