Dua

151 21 8
                                    

Agata Blinda, gadis itu berdiri dihadapan bangunan tua dengan pandangan menusuk kedalam bangunan tersebut. Cat cat putih yang sedikit kusam dan beberapa bangku berada dilantai marmer putih di bangunan tersebut.

Hatinya takut ingin masuk kedalam bangunan tersebut, namun apa boleh buat? Inilah rutin nitasnya seminggu sekali hanya untuk melepas rindu dengan sang Kaka.

Langkah kakinya mulai melangkah memasuki bangunan tersebut, melewati gerbang tinggi dengan cat hitam yang sudah sedikit berkarat tersebut.

Disekelilingnya sekarang, banyak sekali orang orang yang menatapnya aneh sambil meliriknya tajam. Namun ada juga orang yang tertawa sambil membawa boneka didalam gendongan nya.

Langkah kaki Agata terus melangkah menghiraukan pandangan tersebut. Berusaha untuk tetap berjalan walaupun hatinya sudah beranti sipasi.

Namun tiba tiba langkah kaki itu terhenti disebuah ruangan dengan kaca besar untuk pembatas antara luar dan dalam ruangan.

Pandangan Agata tertuju pada ruangan tersebut ah bukan lebih tepatnya seseorang yang sedang duduk dibangku putih didalam ruangan tersebut. Mata Agata terasa panas kala melihat pemandangan itu, dimana Ghina sang kaka, duduk dengan pandangan kososng dan kadang manangis sejadi jadinya.

"Kalau mau nangis nangis aja." Ketika mendengar ucapan itu membuat Agata langsung menitihkan air matanya. Sudah cukup rasanya dia harus berpura pura kuat dihadapan dunia, ketika dalam situasi seperti ini, semua kekuatan nya runtuh oleh air mata.

"Ghina masih dalam kondisi yang sama. Tidak ada perubahan dalam dirinya, saya tidak tau kapan mentalnya kembali seperti dulu." Mendengar itu membuat air mata Agata semakin berlomba lomba untuk keluar, membasahi pipi tirusnya.

"Aditya, apa tidak ada sedikitpun perkembangan yang terjadi?" Aditya hanya mengeleng pelan ketika mendengar ucapan Agata.

Biar diceritakan sedikit siapa Aditya. Pria tampan itu adalah seorang dokter yang memang menangani tentang gangguan jiwa seperti ini, Aditya sudah lama merawat Ghina namun semakin hari keadaan Ghina tidak ada perkembangan nya sama sekali. Aditya juga sudah sangat kenal dengan Agata, karna memang selama ini hanya Agata lah yang sering dijumpai Aditya di rumah sakit ini.

"Apa aku boleh menemui Ghina?" Aditya tersenyum sambil mengangguk.

"Biar saya temani."

Aditya membuka pintu ruangan tersebut dan masuk kedalam ruangan tersebut diikuti oleh Agata dari belakang.

"Halo, kaka?" Sapa Agata walaupun Agata tau pasti tidak akan pernah ada balasan dari mulut Ghina, memandang saja kadang Ghina enggan apalagi menjawab sapaan nya?

"Kak, kapan mau pulang lagi kerumah? Rumah sepi kalau nggak ada kaka. Ayo dong kak, kembali. Demi aku kak." Ucap Agata dengan duduk disebelah Ghina.

Ghina tetap tidak menjawab sama sekali, pandangan Ghina masih menatap dinding cat putih kusam tersebut. Dan hal itu membuat Agata membuang nafasnya kasar ketika dia sama sekali tidak mendapatkan hasil nya.

"I miss you so bad sist." Gumat Agata dengan menunduk, membiarkan air matanya yang tadi sudah mereda kembali meluncur deras.

"Dia menghancurkan ku. Mereka? Mereka sama sekali tidak peduli denganku." Itu bukan ucapan yang keluar dari mulut Agata, tapi itu adalah racauan tidak jelas yang memang sering keluar dari mulut Ghina.

"Kak, percayalah. Mereka memang tidak peduli dengan kaka, tapi aku masih sangat peduli dengan kaka." Ucap Agata sambil memegang tangan Ghina,namun sayang tangan Agata ditepis oleh Ghina sehingga membuat gengaman tangan tersebut terlepas.

This is Who I AmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang