Wishlist

6.8K 727 75
                                    

"Apa kau punya keinginan, Bree?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa kau punya keinginan, Bree?"

"Hah?"

Bree yang telah siap melompat menoleh kepadaku dengan terkejut. Alisnya berkerut. Kupikir, kerutan itu untuk menunjukkan rasa heran. Kemudian, ia menggeleng sebentar sebelum menghela napas.

"Rie, kalau kau memang tidak ingin bunuh diri, sebaiknya pulang saja. Kalau besok aku sudah di bawah sana, berpura-puralah tidak tahu apa-apa, oke?"

Aku menggeleng dengan keras. "Bree, bukan itu maksudku," ucapku cepat sambil menjilat bibir yang sama keringnya dengan tenggorokanku. "Maksudku, apakah kita harus mati begitu saja? For nothing?"

Bree menatapku. Wajahnya kaku. Matanya tidak berkedip sekalipun angin meniup keras-keras. Entah apa yang dipikirkannya.

"Apa kau tidak punya keinginan, Bree?" Kutarik napas panjang. Dadaku mulai sesak karena angin dingin ini. "Sesuatu yang sangat ingin kau lakukan sebelum mati?"

Bree masih saja diam. Matanya menatapku lekat. Ia berkedip beberapa kali seperti orang yang tersadar dari lamunan.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya pelan. Perlahan wajahnya menjadi lebih lembut.

Ada banyak hal yang ingin kulakukan, sebenarnya. Aku bisa membuat daftar hal terakhir yang ingin kulakukan sebelum mati. Mungkin ada lebih dari sepuluh item.

"Sebenarnya ... banyak, Bree."

Bree menyapukan tangan ke wajahnya. Ia membiarkan telapak tangan menempel di wajahnya beberapa saat, lalu mengintipku lewat sela-sela jarinya. Tidak lama kemudian, ia menggeleng dengan keras dan merogoh saku jaketnya yang ada di tubuhku.

Ia mengeluarkan beberapa gulung kertas. Struk belanjaan dan uang kembalian. Angin menerbangkan selembar uang dari tangannya. Mataku mengikuti arah terbangnya uang itu sampai hilang dari pandangan mataku.

"Nih!" Bree menyerahkan selembar struk kepadaku. "Coba ambil bolpen di saku depan jaketku."

Kuikuti arahannya dengan patuh. Bolpen itu ada di tempat yang ia katakan. Kuacungkan bolpen itu di depan wajahku.

"Sekarang, tulis semua yang mau kau lakukan sebelum mati. Semua. Jangan sampai kau jadi kuntilanak hanya karena ada hal remeh yang belum kau lakukan."

Begitu Bree menyebutkan nama setan yang menghantui masa kecilku, ketakutan menyelubungi dadaku. Tanganku langsung menuliskan hal-hal yang terbersit di kepala. Sulit sebenarnya menulis dalam kegelapan, tetapi aku terus berusaha menajamkan mata. Aku tidak sudi berubah menjadi setan perempuan yang keluyuran dari pohon ke pohon sambil tertawa sendiri. Pokoknya tidak!

Otakku yang penuh sarang laba-laba mulai berpikir apa yang ingin kulakukan. Yang pertama kali terlintas adalah Alerawi, kota tempat aku dibesarkan dan mengalami masa kecil mengerikan. Setelah itu, menyusul daftar keinginan yang cukup banyak.

Rooftop Buddies (Terbit - Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang