COME TO ME (Jeonghan)

58 4 10
                                    

Author's POV

Jeonghan terduduk. Diamnya menyimpan sejuta pertanyaan. Joshua hanya bisa menghela nafas pelan, lalu beranjak pergi. Joshua melirik kalender yang menempel di dinding apartemen Jeonghan. Seketika Joshua mencelos, hari ini tanggal 8 Agustus. Joshua tidak bisa berbuat apapun.

"Jeonghan.." Belum selesai Joshua berkata, Jeonghan sudah menyelanya. "Ani, Shua. Aku akan baik-baik saja. Pergilah. Kumohon untuk hari ini bersikaplah seolah kau tidak bertemu denganku hari ini."

Joshua diam sejenak, lalu menganggu, "Arraseo. Telepon aku kapanpun kau membutuhkannya." namun Jeonghan bergeming. Dan Joshua memutuskan untuk berbalik pergi.

JEONGHAN'S POV

Aku mendengar suara pintu berderit tertutup. Aku tahu Joshua berniat menolongku. Tapi bukankah percuma jika aku sendiri tahu bahwa aku tak tertolong lagi. Tidak ada satu carapun yang bisa menolongku. Aku meraih botol wine yang masih terbuka tutupnya, tak kupedulikan gelas bekas milikku. Aku menenggaknya langsung dari botolnya. Menelan wine yang rasanya manis.

Tapi bukankah aku tidak membutuhkan rasa manis?

Aku marah dan dengan sengaja kubanting botol ditanganku. Kulemparkan ke arah dinding, dan sempurna mengenai dinding, botol itu pecah menjadi beberapa bagian, isinya pun ikut tumpah dan menodai dinding apartemenku yang berwarna putih. Yah, aku memang ketua baseball dimasa SMA dulu, dan kebetulan juga aku seorang pelempar ulung, karena itulah lemparanku kali ini pun pasti mengenai sasaran. Sebuah frame berwarna putih dengan pita berwarna hitam.

Aku mendengus sebal. Wajah dalam foto di frame putih berpita hitam itu masih saja tersenyum lebar. Menyebalkan.

"Kau tidak pernah menduga bukan? Bahwa aku bisa sebegini menyedihkan." gumamku. Tak kutujukan untuk siapapun. Tapi mungkin dia  mendengarnya. "Kau tahu, aku tidak pernah menduga mencintaimu akan sebegini menyakitkan. Kalau saja aku tidak pernah bertemu denganmu. Kalau saja aku tidak pernah menangkap senyumanmu hari itu, malam itu. Mungkin semua akan berbeda."

Aku terdiam sejenak, memberikan jeda untuknya untuk memahami tiap kata per kata dalam kalimatku. Supaya dia merasakan betul apa yang aku rasakan saat ini. Dan saat kulirik dia, Dia masih saja tersenyum. Menyebalkan.

"Kau tahu? Kata Wonwoo ,kehilanganmu adalah kehilangan yang baik. Katanya, dari kehilangan ini aku bisa belajar untuk merelakan dan lebih memberikan kesempatan padaku untuk mencintai diriku sendiri. Tapi, bodoh namanya kan? jika ternyata aku tidak bisa menemukan diriku yang dulu. Seolah diriku ini terdiri dari ribuan pasir, dan hatiku adalah kantungnya, maka saat kau meninggalkanku, maka saat itulah kau mengoyak kantungku. Hatiku.

Dan bisa kau bayangkan? Saat hatiku terkoyak karena kepergianmu, maka diriku semburat berantakan. Ribuan pasir ini berpencaran. Beberapa bisa kukumpulkan, tapi semua tak lagi sama. Aku tidak akan pernah utuh." Air mataku perlahan leleh. Inginku mengumpati diriku karena menangis. Menangis karena dia. Dan aku membenci itu. Aku sangat benci.

Aku ini lelaki, tapi karena dia aku terus saja menangis. Menyebalkan.

Aku bangkit dari posisiku, kulangkahkan kakiku menuju serpihan pecahan frame putih berpita hitam. Kujulurkan tanganku dan kupungut pecahan-pecahan kaca yang berserakan. Semua kukumpulkan menjadi satu. Aku benci apartementku berantakan. Biar saja aku sendiri berantakan, tapi tempat yang kutinggali jangan.

Aku membuang semua serpihan frame putih berpita hitam itu. Lalu kuraih selembar foto dia. Dia yang masih saja memasang wajah tersenyumnya. Aku mengusapkan ibu jariku ke wajahnya yang merona. Dia tampak cantik dan bahagia.

Shining DiamondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang