HOME (JeonghanXSinB)

14 3 3
                                    

Jeonghan terkulai lemas saat membuka pintu apartemennya malam itu. Rapih namun tidak berpenghuni. Tidak ada senyuman Sinbi yang biasanya menyambut Jeonghan sepulang dia bekerja. Tidak ada pelukan hangat dari Sinbi yang biasanya menenangkan Jeonghan setelah lelah seharian. Tidak ada suara cerewet Sinbi yang mengomel bila menemukan kotak makan siang Jeonghan masih penuh belum dimakan.

Jeonghan benar-benar menyesal mengeluarkan kalimat yang begitu menyesakkan jika dia ingat kembali, "Terserah kamulah. Kamu mau apa aku juga tidak peduli."

Dan benar. Kalimat itu berdampak sebegini besarnya. Sinbi pernah mengingatkan berkali-kali semenjak tahunan lalu, ketika mereka bertengkar, "Jangan pernah minta aku bersabar, Sayang. Sabar itu tidak berbatas. Dan aku melakukannya setiap hari. Jika suatu ketika nanti batas itu ternyata sudah tidak ada, kamu tidak akan menemukan aku dimanapun. Artinya aku sudah terlampau lelah. Dan menjadi tidak sabar."

Harusnya Jeonghan paham betul kalimat itu. Dan harusnya Jeonghan juga menyadari, dia sungguh beruntung memiliki Sinbi. Dia tidak banyak meminta pada Jeonghan. Tidak pernah mengeluh setiap Jeonghan menyuruh sesuatu. Sinbi bahkan mengerjakan pekerjaan rumah disela-sela waktu sibuk sebagai seorang penulis ternama. Kondisi rumah mereka senantiasa rapih dan bersih.

Jeonghan bisa makan dengan nyaman. Istirahat dengan tenang setiap harinya. Karena Sinbi menyiapkan segalanya untuk dia. Namun jika Sinbi sesekali menyindir waktu Jeonghan yang teramat terbatas untuk mereka berdua, Jeonghan langsung marah dan berteriak, "Aku tidak suka jika kamu menuntut waktuku. Kamu tahu sendiri aku sibuk. Teramat sibuk. Toh aku pulang kesini untukmu."

Seringnya meski Sinbi terlihat menangis, dia hanya mengangguk dan kemudian memeluk Jeonghan. Meminta maaf dan mengatakan penyesalannya. Namun Sinbi tetaplah seorang wanita dan juga istri Jeonghan, yang sudah sewajarnya meminta waktu lebih kepada Jeonghan untuk sekedar makan malam berdua yang romantis. Atau setidaknya Jeonghan menyediakan waktu untuk mendengarkan celoteh Sinbi tentang hari-hari yang dia jalani.

Namun Jeonghan tidak melakukan apapun. Dia tetap pergi pukul 6 pagi dan kembali nyaris jam 11 malam tiap harinya. Saat hari sabtu dan minggu waktu Jeonghan juga habis bersama koleganya, entah bermain golf, bowling, panahan atau berkuda. Jeonghan tahu, itu bukan dirinya. Karena sesungguhnya yang diinginkan Jeonghan adalah berdua bersama Sinbi. Namun dia tidak bisa. Dia seorang CEO, dan kedua orang tuanya mewariskan perusahaan itu untuknya bukan untuk dibiarkan.

Jeonghan berhasil mengurus perusahaan milik orang tuanya dengan baik, namun yang dia lupakan adalah mengurus istrinya. Jeonghan sadar, dia marah-marah hanya karena dia tahu Sinbi tidak akan meninggalkannya meski dia sering marah, Sinbi tidak akan mengeluh meski Jeonghan sering mengabaikannya untuk bekerja sepanjang waktu, dan Sinbi sangat mencintainya.

Namun hari ini berbeda. Pagi tadi, Sinbi mengatakan bahwa dia memerlukan Jeonghan untuk hadir bersamanya dalam launching buku terbaru Sinbi. Sinbi minta waktu dua jam dipukul 12 hingga pukul 2 siang. Waktu sempurna untuk makan siang. Menurut Sinbi, buku itu sangat istimewa karena menceritakan kehidupan mereka berdua yang diwakili tokoh dalam buku yang ditulis Sinbi. Sinbi terlihat bersemangat sembari menyiapkan pancake blueberry kesukaan Jeonghan. Namun, alih-alih Jeonghan menunjukkan dukungan kepada sang istri, Jeonghan justru marah besar. Merasa istrinya kurang pengertian dengan kegiatan bisnisnya. Dan menuduh Sinbi hanya menuntut hal yang tidak wajar.

Sinbi memang Nampak terdiam. Senyumnya terulas dan berkata, "Ini penting bagiku, tapi jika memang kamu tidak bisa sedikit meluangkan waktu untukku meski hanya sepuluh menit saja. Apa boleh buat. Aku akan membatalkan beberapa bagian acaranya." Lalu keluarlah kalimat Jeonghan yang begitu menyakitkan diingat, bahkan oleh dirinya sendiri, "Terserah kamulah. Kamu mau apa aku juga tidak peduli." Sinbi mengangguk. Kemudian bergegas. Sementara Jeonghan meninggalkan apartemen mereka dengan kesal.

Jeonghan ada janji makan siang dengan investor dari Belanda hari itu. Dan dia tidak mungkin membatalkannya karena janji itu sudah dibuat semenjak 3 bulan yang lalu dan sempat 2 kali berubah karena sang investor harus mengurus beberapa hal.

Dan inilah yang didapat Jeonghan saat dia kembali. Tubuh lelahnya tidak disambut pelukan hangat Sinbi. Sepasang matanya tidak berhasil menemukan sapaan hangat juga senyuman manis Sinbi meski dengan wajah mengantuk. Jeonghan terduduk lemas manakala tangannya menyentuh secarik kertas di dekat gelas berisi air putih dan disamping vitamin.

"Kamu tahu, Jeonghan, apa kebalikan dari rasa cinta? Bukan benci. Tapi ketidakpedulian. Minum vitaminmu."

Hanya itu yang tertulis tapi sukses membuat Jeonghan patah hati luar biasa. Air mata Jeonghan luruh dan kemudian dia bergegas keluar apartemen dan mengemudikan mobilnya dan berusaha menelepon nomor Sinbi yang kini tidak aktif. Jeonghan mencari berjam-jam disemua tempat yang dia pikirkan. Menjelang pukul 6 pagi, Jeonghan menyerah.

Matanya masih sembab dan suaranya serak, sesekali dia berteriak karena putus asa tidak bisa menemukan istrinya. Jika dihitung, ini berarti hampir 24 jam mereka tidak bertemu. Dan Jeonghan mulai merasakan teramat rindu. Jeonghan menyadari dia sungguh beruntung memiliki Sinbi sebagai istrinya. Karena dia tidak perlu repot mengurus keperluannya. Dan sungguh, Sinbilah yang merawatnya dengan baik hampir dua tahun terakhir. Bukan sebaliknya.

Jeonghan menghentikan mobilnya dan kakinya melangkah lunglai kearah lift menuju apartemennya. Begitu pintu lift terbuka, Jeonghan masuk dan mencoba menelepon sekretarisnya. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Jeonghan menarik nafas kemudian berkata, "Sekretaris Jung, tolong kosongkan jadwalku hari ini. Aku kurang fit. Sampaikan maafku kepada Pak Nam karena membatalkan agenda dengannya, aturkan untuk pertemuan besok saja. Terima kaasih." Jeonghan memutus sambungan tepat saat pintu lift terbuka kembali. Jeonghan melangkah keluar meski langkahnya teramat berat. Lalu tangannya terjulur dan jemarinya menekan deret angka yang menjadi kode apartemennya. 3-0-1-2. 30 Desember, tanggal pernikahannya dengan Hwang Sinbi.

Kunci terbuka dan Jeonghan mendorong pintu apartemennya. Seketika matanya membulat saat menemukan sosok yang dia cari setidaknya selama 5 jam terakhir seperti orang gila karena dia tidak menemukan sosok itu dimanapun. Hwang Sinbi menatapnya tanpa ekspresi, tanpa senyuman hangat dan tangannya terlipat didepan dadanya. Jeonghan menatapnya takut, jelas itu tanda Sinbi tengah marah padanya. Jeonghan hafal betul.

"Boleh aku memelukmu?" Tanya Jeonghan pelan memecah keheningan diantara keduanya. Sinbi menarik nafasnya dalam kemudian membuka tangannya. Serta merta Jeonghan memeluk istri yang begitu dirindukannya. Ternyata menghilangnya Sinbi selama beberapa jam sudah sukses membuatnya begitu teramat kehilangan dan bagaikan orang gila. Jeonghan tidak sanggup dan tidak mau membayangkan jika Sinbi menghilang lebih lama dari ini.

"Terima kasih sudah kembali. Maafkan aku." Bisik Jeonghan. Sinbi mempererat pelukannya, "Bagaimana rasanya kehilangan aku?" ujarnya.

Air mata Jeonghan leleh, "Kosong, benar-benar kosong. Rasanya aku tidak sanggup jika kamu tidak ada seperti itu. Maafkan aku. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku berkata kasar padamu. Maafkan aku membuatmu terluka. Maafkan aku."

Sinbi melepas pelukannya dan menatap mata Jeonghan yang sembab, dihapusnya air mata Jeonghan namun perlahan air matanya juga ikut meleleh. "Ketahuilah, lawan kata cinta bukan benci tapi tidak peduli. Aku masih mencintaimu, karena itu aku kembali. Tadinya aku sudah mengemas koperku dan menunggu penerbanganku pukul 2 dini hari. Tapi aku teringat janji kita untuk bersama dan aku bersungguh-sungguh saat mengatakan akan menemanimu selalu. Maka aku kembali dan menemukan apartemen kosong. Air minum yang kusediakan bahkan tidak kamu minum dan bahkan vitamin dibiarkan begitu saja. Tapi aku tahu kamu mencariku dipenjuru apartemen kita, dan pastilah kamu pergi mencariku. Karena itu aku menunggumu tanpa tertidur. Syukurlah kamu tidak apa-apa. Aku mengkhawatirkanmu." Ujar Sinbi.

Jeonghan memeluk kembali istrinya. Bagaimana mungkin dia bisa kehilangan perempuan yang menjadi anugerah terindah untuknya.

"Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu."

(*)


note : Sebuah drabble tentang Jeonghan dan SinB

Shining DiamondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang