Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semuanya bermula dari panggilan telepon itu.
Jaris sedang berada di workshop miliknya. Membantu beberapa orang pekerjanya mengerjakan pesanan kursi dan meja dari sebuah rumah makan di bilangan selatan Jakarta. Masker menyelubungi hidung dan mulutnya. Ia sedang menghaluskan permukaan meja bersama seorang pekerja bertubuh kurus yang dipanggil Murai oleh teman-temannya, karena hobi memelihara burungnya yang dianggap akut.
Sejumlah furniture lainnya sedang dikerjakan di sisi lain workshop ini. Dalam tiga hari ke depan, pesanan ini harus segera selesai dan dikirim kepada pemesan. Jaris bukan tipe owner yang menyerahkan segala-galanya kepada para pekerja. Ia tak segan untuk turun tangan langsung demi memantau kualitas kerja pegawai-pegawainya. Atau terlibat langsung dalam proses jika bantuan tenaganya bisa mempercepat proses produksi. Toh hari ini tak banyak hal yang mesti ia lakukan, selain janji pulang sebelum pukul empat karena Desna―sang istri, minta dibawakan obat penghenti datang bulan, karena sudah lebih dari sepekan lamanya masalah menstruasi tersebut masih juga mengucurkan darah segar.
Dering ponsel di saku celananya tak kentara karena bising suasana workshop. Untungnya Jaris selalu menyertakan mode getar agar ia bisa mengetahui ada pesan atau panggilan masuk. Meski seringnya, ketika derit itu disadarinya sebagai pesan, baru akan dibuka setelah ia beristirahat. Namun getaran di balik saku itu terus berulang-ulang. Membuat Jaris mesti menengoknya, karena ia berprinsip, seseorang tak akan menelepon jika bukan karena keadaan darurat.
Jaris menyeka debu yang menempel di lengannya. Sarung tangan rajut yang ia kenakan, dibuka dan dilemparkannya ke dalam kotak perkakas. Ia merogoh saku jeans-nya dan menemukan nama Agni tercetak di layar ponselnya.
Agni? Sebut Jaris dalam hati. Tumben sekali perempuan itu menghubunginya. Pastilah ini ada urusannya dengan Giri. Atau, Giri yang menghubunginya menggunakan ponsel sang istri. Jaris menggosok-gosokkan telapak tangannya yang sedikit lembab karena keringat ke jeansnya. Lalu menekan tanda penerima panggilan.
"Iya Ni?" sapa Jaris, singkat.
Cukup lama tak ada suara menyahut dari seberang sana, sampai Jaris harus menengok ponselnya lagi karena dikiranya panggilan tersebut diputus. Namun detak waktu masih berjalan. Ia menempelkan ponselnya lagi ke telinga dan memanggil si penelepon.
"Ni? Halo?"
Kali ini ada suara yang terdengar. Namun bukan serupa sahutan atau sapaan. Melainkan isak yang begitu dalam, disusul ucapan yang terbata-bata.
"Ni, suaranya kurang jelas. Agni lagi dimana?" tanya Jaris kembali.
Kali ini, nama sahabatnya itu disebut. Namun tak jelas juga apa yang hendak disampaikan perempuan itu. Hingga Jaris mesti menenangkannya agar mampu berbicara dengan lebih jelas.
"Iya gue denger. Giri kenapa?" Jaris terus mendesak tanya. Hingga ia mendapatkan juga jawaban yang sejak tadi ditanyakannya.
Air muka itu berubah.
Untuk jeda yang cukup panjang, Jaris mesti terdiam demi mencerna kabar yang didapatinya.
* * *
Jaris tak tahu seberapa cepat ia memacu laju mobilnya. Klaksonnya berkali-kali menyalak galak demi mendapatkan ruang di jalan raya. Perlakuan serupa malah ia dapatkan dari pengemudi lain karena tingkahnya yang dianggap ugal-ugalan, sedang orang-orang di luar sana tak tahu apa yang tengah memburu detak jantungnya hingga berpacu demikian cepat. Sejenak ia ingat kejadian serupa yang pernah ia temui di jalan. Ah, betapa jahatnya ia bepikiran negatif pada orang-orang yang memaksa merebut jalan dalam kondisi genting. Karena nyatanya, ia mengalami hal itu sendiri sekarang.
Begitu tiba di tempat tujuan, Jaris langsung menghempas pintu mobil cepat. Ia baru menyadari dirinya tak sempat berganti pakaian, dan bau keringat serta debu dari workshop-nya bisa jadi sudah melekat. Tak tahu, apakah suster akan membolehkannya masuk ke dalam, atau malah mengusirnya sebelum ia sempat lewat.
Koridor panjang Rumah Sakit membentang di hadapannya. Jaris punya banyak pengalaman tak mengenakkan dengan Rumah Sakit. Suatu ketika, keponakan perempuannya mesti dilarikan ke Rumah Sakit karena tertabrak sepeda motor ketika sedang berjalan kaki menuju rumah sepulang mengaji. Ayah angkatnya pernah mengalami hal serupa karena sebuah penyakit. Ia sendiri sudah lelah bolak-balik mengantar sang istri demi program hamil yang mereka jalani selama bertahun-tahun. Dan bekas jahitan di bawah bibirnya selalu mengingatkannya pada langit-langit Rumah Sakit akibat kecelakaan kerja yang ia alami beberapa tahun lalu.
Semua pengalaman tersebut saat ini bercampur menjadi satu dengan kabar yang baru didapatkannya tadi. Giri jatuh di kantornya. Hanya itu pesan yang bisa ia tangkap ketika Agni menghubunginya tadi. Dan sekarang, sahabatnya itu tengah berada dalam kondisi kritis.
Berbagai macam dugaan sudah muncul di kepala Jaris. Mulai dari serangan jantung, tekanan darah tinggi, hingga berbagai kemungkinan yang lain. Namun, Jaris tak ingin menyimpulkan sendiri. Sekarang, yang ia inginkan hanya satu. Segera bertemu sang sahabat untuk mengetahui keadaannya.
Jemari Jaris sibuk mencari nama Agni dalam daftar kontak. Padahal, dalam kondisi tenang, Jaris cukup memeriksa panggilan terakhir saja dan menghubungi balik Agni. Namun hal itu justru tidak ia lakukan.
Panggilan telepon Jaris tak sampai terangkat oleh Agni karena ia keburu menemukan perempuan itu tengah terduduk sendirian di bangku panjang di salah satu sisi koridor. Jaris setengah berlari menghampirinya.
"Ni, Giri dimana?"
Agni mengangkat wajahnya, hingga tatapan ia dan Jaris bertemu. Sembab di matanya menunjukkan kalau ia baru saja menghabiskan tangis yang dalam. Namun berbeda dengan suara Agni ketika di telepon tadi. Tak ada isak yang muncul. Sebaliknya, Agni tampak sudah cukup tenang. Membuat kekhawatiran di hati Jaris berkurang sedikit.
Sayangnya, sikap tenang Agni justru bermakna sebaliknya. Ketika ia bangkit dari duduknya, kalimat itu meluncur seperti bongkahan salju yang siap menghantam tanpa ampun.
"Giri udah pergi, Ris. Tadi waktu gue telepon, dia lagi dalam penanganan dan kondisinya udah nggak stabil."
Degup di dada Jaris seperti terhenti. Ia merasakan tubuhnya limbung dan pandangannya tak tentu arah. Kilasan hari-hari yang panjang melintas bagai memori yang saling berlompatan. Ada banyak suara di sekelilingnya, tetapi Jaris tak tahu yang mana yang hendak ia dengar.