Keramaian itu mengalihkan perasaan hatinya.
Seminggu sudah Giri pergi. Tahlil tujuh hari selesai diadakan malam ini. Selama tujuh hari ini pula, kediaman Agni ditinggali oleh sanak saudaranya. Sebagian menjadi sukarelawan untuk mengurus tahlil selepas isya. Sebagian lainnya merasa punya tanggung jawab moral untuk menemani perempuan itu melewati masa dukanya.
Aldebaran―putra semata wayang Agni dan Giri mungkin masih terlalu kecil untuk memahami arti kepergian sang Ayah. Ia tetap mampu bermain riang, menikmati suasana rumah yang ramai karena banyak sanak saudara yang hadir.
Jaris tak sedikit pun meninggalkan perannya sebagai sahabat terbaik yang dimiliki Giri. Ia ikut serta dalam persiapan tahlil. Menggelar karpet-karpet dan menyusun minuman dan penganan kepada para pengaji. Merapikannya seusai acara, baru pamit setelahnya. Namun berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini ia tidak datang sendirian. Ia hadir bersama sang istri.
Keriangan Al dan sepupu-sepupunya yang sebaya berada di balik tubuh Jaris. Ia menghampiri Agni untuk pamit, bersama Desna yang sejak tadi berada di sisinya. Duka di wajah perempuan itu sudah berangsur hilang seiring bergantinya hari. Namun tatapan kosong itu masih ditemukan sesekali lewat matanya.
"Ni, kita mau pamit ya," ujar Jaris pada Agni.
Desna meraih sebelah tangan Agni, menunjukkan bentuk simpati seraya mengucapkan pamit yang sama seperti Jaris.
"Kalau butuh apa-apa, kabarin Jaris aja ya. Nanti aku juga bantuin," pinta Desna, sebab tak terlalu akrab dengan Agni, bahkan nyaris tak pernah berkirim pesan sebelum-sebelumnya.
"Makasih ya udah datang. Makasih Mas Jaris," tambah Agni, pada sahabat suaminya itu.
Sementara Desna sudah melangkah lebih dulu. Jaris sempat berbalik dan menengok ke arah Al yang sedang berlarian mengitari ruangan.
"Al..." panggil Agni. Memberi kesempatan pada Jaris jika ingin pamit juga pada bocah itu. Namun Jaris menolak, seraya berkata. "Biarin Ni. Lagi asik kayaknya."
Agni mengulas senyum kecil, melihat keceriaan buah hatinya.
"Kalau butuh apa-apa, hubungi aku ya." Jaris memesan lagi, persis seperti yang Desna katakan tadi.
"Iya. Insya Allah," jawab Agni.
Selama sekian jenak, Jaris berdiri di posisinya. Masih menatapi tawa anak itu. Ia mengembalikan tatapannya pada Agni. Dengan anggukan sebagai salam, ia berlalu dari rumah itu.
* * *
Agni menghampiri Al, lalu menyelipkan kedua tangannya pada ketiak anak itu sambil membopongnya tinggi-tinggi. Seringai tawa Aldebaran belum hilang. Agni menciumi putranya itu. Sang anak langsung melingkarkan lengannya ke leher Agni.
"Sudah malam. Udahan ya mainnya. Nih, bajunya sudah basah karena keringat. Al ganti baju dulu ya, terus kita tidur."
"Besok? Boleh main lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Friend's Will (TAMAT)
RomantiekSebelum ia pergi, ia menitipkan satu pesan terakhir. Sebuah permintaan yang tak mudah untuk diwujudkan.