Jika ia masih hidup hari ini, ia akan selalu ingat malam itu.
Surat itu ditulis setahun sebelum kepergiannya. Sepulang perjalanan mereka dari camping di akhir pekan. Giri tak memiliki mukjizat untuk meramal masa depan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tak bisa menebak burung yang mana yang bertengger di atap rumahnya, daun yang mana yang akan jatuh dari rantingnya, juga kapan ia akan meninggalkan kehidupannya.
Namun hari itu, ia merasa gelisah. Sejak sebelum meninggalkan camping ground, ia sudah berkali-kali menanyakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Bagaimana jika aku pergi? Ia teringat Agni dan putra semata wayang mereka di rumah. Teringat kedua orangtuanya. Kehidupan sehari-hari yang ia miliki. Segalanya.
Sambil membantu Jaris menggulung tenda yang habis digunakan, Giri tampak murung dalam diamnya. Jaris mengira Giri hanya sedang lelah dan butuh liburan tambahan. Bekerja sebagai pemilik usaha, kerap memang mendatangkan sakit kepala. Beruntung, mereka memiliki jam kerja yang tak terikat. Bepergian di akhir pekan, terlebih untuk menikmati sesuatu yang mereka suka, adalah salah satu cara untuk menyelamatkan diri.
Sejak muda dulu, Giri dan Jaris menyukai aktivitas alam. Mereka kerap ikut naik gunung sekalipun sudah berstatus alumnus dari kampus dulu. Atau sekadar bermotor ke tepi Jakarta dan pulang hari hanya demi menikmati suasana di jalan. Camping seolah menjadi agenda paling mudah yang rutin mereka lakukan setiap tahunnya, karena naik gunung sangat memakan waktu untuk Giri yang sudah punya anak dan Jaris yang istrinya tak terlalu suka jika ia meninggalkan rumah terlalu lama.
"Masih mau nambah ya?" tanya Jaris, saat Giri memasukkan tenda yang sudah digulung ke dalam kantongnya.
Giri hanya menggeleng, sambil menarik risleting jaketnya lebih tinggi.
"Kalau masih mau stay, gue telepon Desna deh. Izin satu malam lagi. Atau, mau pindah ke tempat lain?" Jaris menawarkan alternatif.
"Nggak. Kita cabut hari ini aja, sesuai planning," jawabnya. Kegelisahan yang ia coba sembunyikan, namun terbawa juga di sepanjang perjalanan menuju rumah.
Giri malah sempat bertanya pada Jaris, bagaimana jika ia pergi nanti? Meski Jaris meresponsnya dengan canda. Dan Giri tahu bahwa pertanyaannya kelewat absurd untuk ditanggapi. Mereka mengisi jalan pulang dengan obrolan seperti biasa akhirnya.
Ketika ia menurunkan Jaris di halaman rumahnya. Giri menatapi punggung sahabatnya yang berjalan masuk itu. Menyadari, bahwa hanya lelaki itu yang tahu persis seluruh isi kepala dan hatinya selama ini. Jika ada bayangan yang paling sempurna untuk menggambarkan siapa dirinya, maka itu ada pada diri Jaris.
Namun itu semua jelas tak terjadi begitu saja. Persahabatan keduanya sudah dimulai jauh belasan tahun lalu. Sempat satu sekolah saat SMA, ketika lulus, Giri sempat menghentikan pendidikannya karena urusan finansial. Bekerja satu tahun demi mengumpulkan modal, sedang Jaris sudah lebih dulu melanjutkan ke perguruan tinggi. Saat Giri punya cukup uang dan masuk kampus yang sama dengan Jaris, Jaris rela menunda pendidikannya agar bisa satu angkatan dengan sahabatnya itu. Ia magang di workshop furniture, dan bertemu Desna di sana. Pacaran mulai dari berstatus anak magang, kembali jadi mahasiswa, lulus sebagai pengangguran, sampai punya usaha dan akhirnya menikahi perempuan itu beberapa tahun kemudian.
Selang usia pernikahan Jaris dan Giri kurang lebih tujuh tahun lamanya. Setelah Jaris berkeluarga pun, Giri tetap menjadi bagian hidupnya. Mereka kadang nonton bertiga, kadang hang out saat weekend dengan Giri yang berstatus 'nyamuk' di antara Jaris dan Desna. Jaris memperkenalkan Giri sebagai sahabat terdekatnya. Didukung kepribadian Giri yang mudah dekat dengan siapapun. Hingga tak sulit bagi Desna untuk menerima sahabat suaminya itu.
Kisah cinta Giri tak semulus sahabatnya. Mesti beberapa kali putus cinta dan tak kunjung menikah. Sampai akhirnya ia bertemu Agni, dan menikah setelah dua tahun pacaran.
Dari pernikahannya, Giri dan Agni mendapatkan seorang putra. Sedang Jaris dan Desna sampai saat ini belum juga dikaruniai keturunan. Ada sebab dalam tubuh Desna yang membuat ia tak bisa memproduksi sel telur dengan baik. Berbagai dokter dan pengobatan alternatif sudah mereka coba meski tak kunjung membuahkan hasil.
Giri tentu tahu apa yang dialami keluarga sahabatnya itu. Delapan tahun ia menemani pernikahan Jaris dan Desna. Ia malah salah satu yang cukup terobsesi dengan kehamilan, sampai rela mencari kurma muda demi istri sahabatnya itu. Banyak membaca soal hormon dan kesuburan, sampai dalam titik tertentu, jika cara yang serius sudah terlalu jenuh untuk dilakukan, Giri memberi tahu Jaris soal posisi hubungan seksual agar cepat punya anak. Tentu, keduanya hanya mengakhiri dengan tawa, karena sama-sama tahu, kalau mereka sudah cukup lelah soal masalah ikhtiar-ikhitar tersebut.
Banyak hal yang jika diceritakan, mesti menghabiskan beratus-ratus lembar kertas demi merangkum perjalanan pertemanan tersebut. Ketika harus mengorek kantong celana masing-masing untuk mengumpulkan uang demi membeli satu bungkus nasi untuk dimakan berdua. Ketika belum punya mobil dan mesti hujan-hujanan di jalan, atau berteduh di warung kopi pinggir jalan setelah pulang dari Anyer dulu. Sewaktu Giri rela menemani Jaris nonton konser band favoritnya. Atau Jaris yang mengantar dan menunggui Giri melamar kerja di perusahaan. Juga momen keharmonisan yang patah ketika Jaris dan Desna bertengkar. Ada Giri di situ, yang menemani Jaris di jembatan layang tengah malam hanya demi mengusir galau. Ada jaris yang duduk persis di seberang Giri saat ijab qabul hanya untuk menenangkan perasaan grogi sahabatnya itu.
Terlalu banyak hal yang mesti diceritakan. Terlalu banyak perjalanan yang mesti dikenangkan. Terlalu banyak rahasia yang saling mereka tahu. Hingga rasanya, tak ada yang lebih pantas untuk diberi kepercayaan, untuk dimintai pertolongan, untuk diberikan permohonan paling sulit jika hanya itu satu-satunya cara yang bisa membuat ia pergi dengan tenang.
Malam itu, dalam hening malam dan kamar tidur yang temaram. Giri sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Ia menyibak selimut dan pergi ke ruang kerja. Sehelai kertas disobek dari buku agendanya. Ia menuliskan sesuatu di sana. Barisan panjang kalimat-kalimat yang diselipkannya ke dalam sehelai amplop berwarna putih.
Surat itu, yang setahun kemudian, isinya telah menjadi bayang-bayang kehidupan Jaris, setelah Giri pergi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Friend's Will (TAMAT)
Storie d'amoreSebelum ia pergi, ia menitipkan satu pesan terakhir. Sebuah permintaan yang tak mudah untuk diwujudkan.