Langit tak sedang hujan. Namun cukup muram untuk menjadi penanda hari yang baru.
Kerumunan orang di sekeliling pusara berangsur sepi. Hanya beberapa saja yang masih berdiam. Termasuk Jaris, Desna dan Agni. Dua orang kerabat Agni yang terus berada di sisinya mengusap-usap lengan dan punggung perempuan itu, mengajaknya pergi dan membiarkan Giri tenang dalam peristirahatan terakhirnya.
Desna tahu sang suami tengah merasakan kehilangan yang begitu dalam. Bahkan setelah Agni pamit pada mereka pun, Jaris tak juga bergeming dari tempatnya. Ia terdiam memandangi gundukan tanah yang masih basah serta nisan kayu yang bertuliskan nama orang paling dekat dalam hidupnya.
Tidak ada air mata yang jatuh. Kesedihan yang dalam itu hanya tergambar lewat tatapan kosong dan keheningan yang kian memanjang. Jika sebelah tangan itu tak bersandar di bahunya, mungkin Jaris masih akan terus terpaku di sana.
"Ayo kita pulang," ajak Desna. Lalu melangkah lebih dulu, sedangkan Jaris mengekorinya di belakang.
Perjalanan yang sepi tanpa obrolan. Desna mesti memaksakan diri mengendarai mobil mereka meski ia tak secakap Jaris dalam melintasi jalan raya. Namun setidaknya, ini adalah pilihan aman ketimbang membiarkan Jaris berkendara dalam lamunan.
"Kita udah lama ya nggak lihat-lihat showroom mobil." Desna mencoba menciptakan topik di luar kegalauan yang meliputi Jaris. Suaminya itu penyuka mobil―dalam berbagai rupa. Baik itu yang berukuran asli sampai miniatur. Baik dalam rupa gambar di kaos sampai yang sekadar berbentuk pajangan atau lukisan. Melihat-lihat pameran mobil juga merupakan salah satu kesukaan Jaris.
"Kalo kamu temenin aku ke Neo Soho gimana? Ada pameran mobil juga loh di sana."
Jaris hanya menengok sekilas ke arah Desna. Ia tak mencoba mengukir senyum. Tidak seperti saat mereka berselisih pendapat misalnya, dan Jaris tetap memaksakan diri untuk tenang dan tersenyum kepada sang istri untuk sekadar meyakinkan kalau mereka akan melewati masalah tersebut seperti biasa. Ini adalah kali pertama bagi Desna melihat sang suami berada dalam kondisi seperti itu. Dan sejujurnya, dalam hati Desna mulai khawatir, kalau-kalau ia tak akan mampu membawa Jaris kembali kepada dunia mereka sehari-hari.
"Kamu mau ke mall besok?" Jaris hanya bertanya seperti itu.
"Iya... sekalian biar kamu bisa jalan-jalan juga."
Jaris tak menyahut. Kabin mobil kembali menjadi sepi. Hingga perjalanan mereka sampai ke rumah pun, tak ada lagi topik yang bisa diangkat. Tak ada sepatah katapun yang bisa menjadi penghubung bagi mereka berdua.
Jaris turun dari mobil, meluyur masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan berganti pakaian. Kemeja hitam yang tadi dikenakannya di lempar ke bak pakaian kotor. Lalu beralih pada sebotol air mineral dari dalam lemari es. Jaris meneguknya sedikit demi sedikit hingga tandas.
Dari tempatnya berdiri, Desna bisa melihat apa yang dilakukan suaminya itu. Ia tak berkomentar apa-apa sampai Jaris pergi ke kamarnya dan tak keluar untuk waktu yang cukup lama. Ketika Desna memutar knop pintu perlahan, ia melihat sang suami sedang rebah dengan posisi menghadap ke dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Best Friend's Will (TAMAT)
RomanceSebelum ia pergi, ia menitipkan satu pesan terakhir. Sebuah permintaan yang tak mudah untuk diwujudkan.