My Lovely Psycho

2.2K 192 93
                                    

Dahinya berpeluh, tubuhnya panas tapi dia menggigil kedinginan. Sudah sejak dari pagi dia meringkuk dibawah selimut putih besar dan tebal di atas ranjangnya. Pria-ku ini sedang sakit. Kusap keringat yang memenuhi wajahnya dengan menggunakan sapu tangan kecil.

“Kau dari pagi belum makan, perutmu harus diisi, lalu minum obat. Setelah ini kubuatkan susu hangat, kau harus meminumnya. Jae Hyun, kau mendengarkanku?”

“Iya, aku mendengarmu sayang. Terimakasih. Minah, cium aku.”

“Eyshh.” Aku menurutinya. Kecupan kecil kudaratkan dikeningnya yang masih terasa panas dibibirku.

Jae Hyun selalu lebih bermanja-manja kepadaku saat dia sedang sakit. Seperti saat ini. Walaupun dia sedang tak berdaya, wajahnya masih bisa tersenyum hangat kepadaku. Lembut dan membuatku damai.

Aku menuruni tangga rumah Jae Hyun yang meliuk menyerupai ular besar di tengah-tengah rumah mewah ini. Tujuanku ke dapur, menepati janjiku untuk membuatkan segelas susu untuk seseorang yang kucintai di lantai dua—kamarnya.

Aku sedang menunggu-memasak segelas air, sembari menunggu air mendidih, aku meracik susu coklat kental dan gula pasir disebuah gelas berukuran sedang. Setelah kutambahkan air panas separuh gelas dan separuhnya lagi air dingin, kuaduk perlahan.

Nah, susu hangat kesukaan Jae Hyun sudah siap. Aku hendak mengantarkan minuman ini ke kamar Jae Hyun namun langkahku terhenti ketika aku melihat seseorang berahang tegas sudah berdiri di dekatku. Wajahnya serius, aku hanya melemparkan senyum paling cantikku.

“Jae Hyun, susu untukmu sudah jadi.” Jae Hyun mendekatiku, dia mengambil gelas hangat itu dari tanganku, kemudian meminumnya perlahan.

“Kurang manis.”

“Benarkah? Maaf, biar nanti kutambahkan gula. Sekarang makan ya, ini roti isi, lalu minum obat.”

“Aku tidak mau makan.” Tolak Jae Hyun padaku.

Aku merangkul lengan kekar Jae Hyun dan menggoyang-goyangkannya. Berusaha merayu dia agar mau mengisi perutnya.

“Ayolah Jae Hyun, bagaimana kau akan sembuh jika tidak makan?”

“Tidak!” Jae Hyun melepaskan lengannya dengan kasar dari tanganku.

“Jae Hyun, dari pagi kau belum makan apapun, suhu badanmu tak kunjung turun. Sedikit saja, kubuatkan roti isi ya..”

“Sudah kubilang aku tidak mau!!”

PLAK!

Tamparan keras mendarat dipipiku dari tangan Jae Hyun. Aku menunduk, diam, tak bersuara lama. Tangan Jae Hyun menguntai membelai wajahku yang kini merona. Perih rasanya. Aku mengangkat tundukan kepalaku, segumpal air kecil sudah berkumpul di kedua mataku.

Hidungku memerah menahan tangis. Kedua tangan Jae Hyun meraih rahangku kemudian raut wajahnya segera berganti menjadi cemas dan khawatir. Begitu cepat perubahan ekspresi dari wajahnya.

“Minah, sayang. Maaf.. maafkan aku. Sakit? Aku minta maaf, aku.. menyesal.” Aku tersenyum di hadapannya, kemudian mengangguk tanda Jae Hyun sudah kumaafkan.

Aku sudah terbiasa mendapat perlakuan Jae Hyun yang seperti ini sejak satu bulan lebih yang lalu. Sejak dia kehilangan kedua orang tua dan adiknya secara tiba-tiba karena sebuah kecelakaan pesawat terbang yang merenggut nyawa seluruh anggota keluarganya. Jae Hyun terpukul.

Dia sempat tidak bisa menerima kenyataan pada saat itu. Pernah terbesit dipikirannya untuk menyusul kedua orang tua dan adiknya di alam baka. Jae Hyun pernah mengiris nadinya hingga nyaris kehabisan darah sebelum aku datang ke kamarnya dan menemukannya tengah sekarat.

Je T'aimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang