Habis Waktu

55 15 5
                                    

Awan mengetuk pintu lewat pekarangan. Ia turun melalui titik embun basah yang memantulkan cahaya pagi, menempel pada rumput liar yang belum dipotong. Lewat jendela, langit masih tampak kemerahan. Kuperhatikan tak semerah biasanya. Mungkin karena ini kemarau, matahari jadi lebih cepat merambat dan menyingkirkan sisa-sisa malam. Awan seolah mendobrak pintu, tergesa-gesa karena takut embun keburu menguap. Ia memintaku segera bangun dan keluar rumah.

Sepertinya aku tahu kenapa. Kami tak punya waktu lagi.

Kuperhatikan bagaimana langit beranjak pada warna-warna yang lain. Seiring dengan naiknya matahari, gelap terlalu cepat menjadi terang. Pagi mulai memakai aroma siang. Sebentar lagi orang-orang berseragam akan datang dan mungkin aku akan ikut perang. Mungkin aku hanya akan ikut mengumpat dari belakang. Entahlah. Mungkin aku akan cuma bisa mematung dan memohon keajaiban. Itu pun jika masih ada pertolongan bagi kaum yang tak punya uang.

Di belakangku, mereka yang sudah bangun ikut mengintip lewat jendela. Beberapa yang lain terlibat obrolan sengit soal keharusan bertahan, protes apa lagi yang bisa menghentikan laju alat-alat berat. Pada situasi ini, aku sendiri tak tahu harus memikirkan apa lagi. Kami sudah kehabisan waktu dan terlalu lelah untuk berlindung pada harapan kosong.

"Pulang?" Suaranya serak, hasil merokok semalam suntuk. Uh, sebenarnya karena itu aku jadi tak yakin dengan intonasinya.

"Kamu minta aku pulang?"

Ia mengembuskan napas panjang. "Orang tuamu akan marah kalau kamu nggak pulang."

"Terus?"

"Ya... aku nggak mau mereka jadi marah."

Aku menatapnya aneh. "Orang tuaku sudah marah sejak aku main dengan mahasiswa gondrong yang nggak pernah muncul di kelas."

Dia cuma mengembuskan napas lagi, lalu setengah mengerang berkata, "Kalau kamu nggak pulang, aku nggak bisa jamin kamu aman-aman aja."

"Aku juga nggak bisa jamin kamu aman-aman aja di sini. Maksudku, itu bukan pilihan kita. Di luar kendali kita."

"Yakin nggak mau pulang?"

Aku menggeleng mantap. "Nanti. Nanti kalau di sini selesai. Aku mau bantu sampai selesai."

Ia cuma mengangguk sekali, meringkas jarak kami, lalu ikut mengintip lewat jendela. Pagi ini, sepertinya kami sama-sama tak tahu harus berpikir tentang apa.

Kereta: NPC's 30 Days Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang