Sebuah Takdir

2K 85 2
                                    

Tepat pukul delapan, Umi melakukan pemeriksaan ulang. Harapanku masih sama, semoga perkiraan Abi salah. Aku memang tidak paham dengan dunia medis, sekalipun Abi adalah seorang dokter.

Saat ini, aku dan Abi tengah menikmati sarapan di kantin rumah sakit. Setelah jadwal shift, Abi memilih untuk menemaniku sarapan sebelum pulang. Di kamar, sudah ada Kak Aish yang menemani Umi.

"Bi.. gimana bisa Abi memperkirakan penyakit Umi? Memangnya selama ini Umi sering mengeluh sakit kepala?" Tanyaku pada Abi setelah makanan kami telah habis.

"Iya. Beberapa kali memang Umi mengeluh sakit kepala. Abi sudah meminta Umi untuk periksa, tapi Umi kamu bilang itu hanya sakit kepala biasa. Kalau dari ciri-cirinya, bisa mengarah ke tumor. Tapi belum bisa dipastikan jika hasil CT-Scan yang benar belum keluar."

Aku mengangguk paham.

"Za.. soal lamaran Naufal kemarin.. apa kamu sudah memutuskan?"

Kali ini, aku nyaris tersedak salivaku sendiri.

"Belum Bi.. Azza belum bisa memikirkan hal lain sementara kondisi Umi sedang seperti itu." Benar memang, bahkan untuk beberapa saat aku melupakan perkataan Kak Naufal.

"Naufal itu lelaki yang baik.."

Perkataan Abi mengingatkanku pada percakapan antara aku dan Umi beberapa waktu yang lalu setelah Kak Naufal dan keluarganya pulang dari rumahku.

Umi menginginkan seorang menantu yang 'seperti' Kak Naufal. Lalu jika aku justru mendaptkan Kak Naufal yang 'sesungguhnya' apakah Umi akan semakin bahagia?

"Jika hati kamu sudah mantap, baiknya pernikahan segera dilakukan. Abi tidak pernah menuntut kamu untuk segera menikah. Karena pernikahan itu ibadah paling panjang yang akan kamu jalani. Tapi kamu tahu kan bahwa pernikahan itu menggenapkan separuh agama?"

Aku menghela nafas pelan sebelum menjawabnya.

"Azza tau Bi. Nanti kalau Kak Naufal datang ke rumah, apapun jawaban yang Abi dan Umi berikan itu adalah jawaban Azza." Ucapku final.

Selepas sarapan Bersama Abi di kantin, aku kembali ke ruangan Umi. Di sana, Kak Aish masih setia duduk di samping Umi. Sesekali kulihat matanya berair. Mungkin Kak Aish juga memikirkan hal yang sama denganku. Memikirkan bagaimana hasil dari pemeriksaan nanti.

"Ais, lebih baik kamu pulang dengan Abi, kasihan kan Hafiz juga sedang sakit di rumah." Umi berucap pelan.

Kak Aish terlihat bingung. Di satu sisi pasti ia ingin selalu mendampingi Umi. Sementara suaminya di rumah juga sedang sakit.

Aku tersenyum ke arahnya. Sekedar meyakinkan bahwa aku bisa menjaga Umi meskipun sendirian. Selanjutnya Kak Ais memeluk Umi dan aku bergantian. Kemudian mengikuti langkah Abi keluar dari ruangan setelah kompak mengucapkan salam.

"Za.. hasil pemeriksaannya keluar kapan?"

"Sekitar dua jam lagi Mi."

Kudengar Umi menghela nafas.

"Umi ingin selalu ada di samping kamu sayang.. Umi ingin mendampingi kamu sampai kelak kamu akan bertemu jodohmu.."

Mendengar kalimat itu, entah mengapa kelenjar air mataku mulai bekerja. Menimbulkan genangan yang bisa tumpah kapan saja.

"Mi.. InsyaaAllah.. Umi akan selalu mendampingi Azza.. Bukan hanya sampai Azza bertemu jodoh kelak. Tapi sampai kapanpun Umi akan tetap ada di samping Azza."

"Sayang.. di dunia ini tidak ada yang abadi. Kamu harus ingat Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati."

Dan pertahanan yang sudah kubangun hancur sudah. Aku menggenggap erat tangan Umi yang terbebas dari selang infus. Menangis sejadi-sejadinya. Meski aku tahu, bahwa dunia dan seisinya memang hanya sesuatu yang fana.

Antara Khitbah dan MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang