Jalan yang Dia Pilih

1.1K 51 0
                                    


Luna menatap lelaki itu dengan penuh haru. Mengingat bagaimana perjuangan temannya itu untuk menemukan keyakinan baru.

"Mas, aku benar-benar bersyukur dengan nikmat islamnya. Semoga dia istiqomah ya.."

"Aamiin. Aku kagum sekali dengan Bima. Kupikir dia masuk islam hanya karena cinta, tapi nyatanya dia sudah melalui jalan terjal berliku untuk sampai pada hari ini." Andra merangkul bahu istrinya. Memberikan kehangatan untuk tulang rusuknya itu. Suasana cukup syahdu. Ditambah hujan yang mulai turun.

Mereka berdua turut menjadi saksi. Sebentar lagi, mereka akan menyaksikan sebuah perubahan besar dalam hidup seorang Bima.

Dilihatnya lelaki itu sudah mengenakan baju koko lengkap dengan sarungnya. Pakaian itu tak pernah Luna lihat sebelumnya melekat pada tubuh Bima.

Segala puji bagi Allah. Dengan kuasaNya telah mengizinkan ia menjemput hidayah, untuk menjadi pemeluk agama rahmatan lil 'alamin.

"Kenapa kamu tidak mengajak Azza kemari?"

Raut murung tampak pada wajah cantik Luna.

"Bima sendiri yang meminta Mas. Dia tidak mau proses ini terganggu karena perasaannya pada Azza. Katanya, setelah siap dia akan segera mengkhitbah Azza. Dia akan datang ke rumahnya langsung."

***

Langkahnya terhenti saat melihat sosok yanga amat ia kenal.

Kejutan apa lagi ini?

"Bima.. "

Di sana, berdiri dua orang yang selama ini tak pernah saling sapa. Dua orang yang amat berarti di hidupnya.

"Mama.. "

"Bima, kamu harus ikut Mama! Mama nggak akan biarkan orang ini merubah keyakinan kamu!"

Ayah hanya diam. Tanpa mencegah saat Mama menarik kasar lengan Bima.

"Lepas Ma!"

Untuk pertama kalinya, dalam hidupnya Bima berkata sekeras ini pada Mama.

"Ma, Bima sudah dewasa. Jadi jangan perlakukan Bima seperti anak kecil. Maaf Ma, tapi untuk masalah keyakinan, Bima akan mengikuti hati Bima sendiri. Tanpa ada ikut campur baik Mama ataupun Ayah. Keyakinan apapun yang Bima pilih, itu murni dari hati, bukan karena paksaan dari siapapun."

"Bima.. kamu tidak boleh meninggalkan Tuhan kita. Mama mohon, kembali Nak..."

Mama menatapnya lagi. Kali ini bukan tatapan penuh amarah, tapi justru meluluhlantakan hati Bima. Tatapan itu, tatapan penuh kecewa juga luka.

Ini pertama kalinya. Sungguh.

Bahkan saat Bima lebih memilih tinggal dengan Ayah, Mama tidak sekecewa ini.

Tanpa berkata apapun lagi, Mama melangkah pergi. Bima menatap nanar kepergian Mama.

Sungguh demi apapun dia sangat mencintai Mama. Melebihi apapun. Rasa sayang yang khusus Ia persembahkan untuk wanita yang telah melahirkannya itu. Bima akan tetap menyayangi Mama, tanpa berkurang sedikitpun.

Terlambat. Mama datang terlambat.

Sore tadi, tepat setelah sholat ashar, Bima telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Seandainya Mama datang sebelum ini, juga percuma. Bima, sudah menemukan dirinya, dan Tuhannya, Allah.

Beberapa jam yang lalu..

Sore ini, suasana pesantren cukup sunyi. Sudah musim liburan. Kebanyakan santri memilih untuk pulang, menyalurkan rindu pada keluarga masing-masing setelah sekian lamanya tidak bertemu. Beberapa santri yang rumahnya cukup jauh memilih tetap tinggal. Bukan karena tak rindu, kadang tak semua rindu harus terhapus dengan temu. Jika kau merindukan seseorang tapi terhalang jarak, Cukup do'a. karena sejauh apapun jarak yang tercipta, doa mampu menembusnya.

Antara Khitbah dan MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang