05

1.2K 238 34
                                    

Sore itu, setelah seorang paman pada lantai satu memanggil mereka dan berkata bahwa ada tiga kardus besar yang dikirim pada alamat mereka tapi terlalu berat untuk dibawa olehnya seorang diri datang mengetuk pintu, Sehun dengan tegas berkata bahwa paket itu salah alamat. Bukan untuk mereka, katanya.

Paman itu hanya berdeham, berkata akan membongkarnya dan mengambil apa-apa saja yang bisa dijual. Sehun diam, tidak peduli.

Yoona berada di kursi rotan tua miliknya, duduk menonton acara kartun sore sembari memeluk lutut, terlihat kecil dan mudah hancur.

Mengingat kardus-kardus besar itu, Sehun lagi-lagi mengalami sakit kepala. Hal yang dibawa oleh si kecil Yoona saat mengetuk pintunya adalah mantel, boneka jerapah, dan satu tas penuh dengan pakaian miliknya. Itu berisi tidak lebih dari tiga pasang baju dan celana, masih cukup bagus tapi Sehun ingin cepat-cepat menghancurkannya.

Alasannya sepele. Itu dari Jesica.

Jadi setelah berhasil membujuk si kurus itu untuk mandi, Sehun memakaikan mantel ungu itu pada Yoona, menggandengnya lalu berjalan menyusuri trotoar menuju halte terdekat.

Dia miskin, Sehun tahu diri. Tapi tetap saja mana tega ia membiarkan si kecil cantik ini terlihat seperti seorang gelandangan?

Jadi sore itu juga, tepat sebelum jam kantor berakhir, Sehun membawa Yoona pada salah satu Bank dimana dia berhutang, mendudukan gadis kecil itu pada kursi tunggu sedangkan dia menghadap Moonbyul, temannya semasa SMA dulu.

"Kau masih harus mencicil delapan juta won. Itu bukan suatu yang sedikit mengingat kedaimu bukan kedai yang besar." Moonbyul menawarkan kopi kaleng, beberapa pekerja sudah mulai membereskan barangnya dan berlalu-lalang di sekitar mereka.

"Aku tahu. Tapi aku tidak pernah terlambat membayarnya, kau tahu betul itu." Sehun melirik Yoona yang duduk dengan tenang. Dia memainkan tali pada mantelnya sembari memperhatikan orang-orang. Sesekali gadis itu menunduk, memperhatikan kakinya yang menendang-nendang.

"Aku benar-benar butuh uang untuk mendaftarkannya sekolah. Juga, dia tidak punya pakaian. Kau serius tega padaku begini?"

Di tempatnya duduk, Moonbyul hanya menghela napas. Si brengsek Sehun tidak berubah bahkan meskipun dia sudah menjadi gelandangan.

"Pulang saja. Ayahmu pasti akan mengerti. Kau hanya harus bicara padanya, astaga."

Mendengar itu Sehun hanya mendengus, meminum kopinya sembari lagi-lagi melirik Yoona yang sedang bermain dengan tali mantel ungunya. Pria itu diam tidak menanggapi dan Moonbyul tahu betul Sehun tak menyukai topik ini.

"Dasar bajingan. Kau datang mendadak jadi aku hanya bisa memberimu satu juta. Ambil sisanya besok di kantorku." Moonbyul melempar kaleng kopinya, disambut dengan senyuman lebar Sehun yang berdiri girang.

"Moonbyul-a, mau menikah denganku?"

"Cuih. Minggir kau dasar miskin!"

Dan Sehun hanya tertawa. Mengekor pada Moonbyul yang masuk pada kantornya.

"Iya, iya, aku miskin. Jadi ayo menikah denganku dan jadikan aku kaya!"

"Berisik." Moonbyul melemparkan amplop pada Sehun, bersedekap lalu menatap Sehun lekat-lekat.

"Lihat ini, serius kau akan jadi seorang ayah tunggal?"

"Apa?" Sehun mengerutkan alisnya. Tidak mengerti apa yang membuat gadis tengik di hadapannya meragukan dia sebagai seorang ayah tunggal. Dia keren, tampan, hampir mapan (minus hutang tentu saja) dan yang pasti dia mau memasak untuk Yoonanya. Kurang meyakinkan apa lagi memangnya?

WINDOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang