Sungai Harapan (Ma:5)

8 1 0
                                    

  Hawa dingin yang menusuk tulang bahkan tak menggoyahkan dia untuk bangkit dari duduk panjangnya. Airmata terus membasahi kedua belah pipi putihnya yang sangat halus bagai kertas putih tanpa coretan tinta di dalamnya.

  "Mengapaaa...?? Mengapa harus sesulit ini..??"

  Butiran salju sudah sejak 3 jam lalu menghujani dirinya. Jika sekarang tidak sedang musim dingin, mungkin kalian akan dapat melihat keindahan dari sungai tempat wanita itu duduk sekarang.

  Mata biru indahnya menelisik tajam hamparan salju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Mata biru indahnya menelisik tajam hamparan salju. Sebuah pecahan botol kaca ia temukan di antara ribuan es serut yang jatuh dari langit itu. "ahh ini pasti milik para prajurit." begitu pikirnya.

  "Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik untukku." ia menangis dalam kesendirian. "Ibu... Aku datang menyusul mu. Aku sungguh tidak sanggup."

  Ia sudah bersiap untuk melukai dirinya. Pelan namun pasti, darah merah mengalir deras dari pergelangan tangannya. Hingga sebuah pelukan di belakangnya menghentikkan aksi nekad wanita itu.

  "Dasar gadis bodoh. Apa kau pikir kematian adalah cara terbaik bagimu untuk keluar dari masalah..?? Lihat, kau bukan menyelasaikan masalah tapi kau melukai dirimu sendiri." hardik si pria berbaju Pangeran.

  "Ta---tapi aku tidak sanggup. Aku terlalu lelah."

  Pria itu tidak mendengarkan ucapan si wanita. Egois memang. Tapi lihatlah, ia merobek pakainnya sendiri lalu melilitkan kain itu pada pergelangan tangan 'Wanitanya.' yaa mulai detik ini gadis malang itu adalah 'Wanitanya'.

  "Jangan sakiti dirimu lagi. Ikuti hatimu bukan egomu."

  "Kenapa kau malah membiarkan ku hidup, hah..?? Bahkan jika aku mati tak ada yang perduli padaku. Kenapa kau membiarkan ku hidup kenapa...??" berulang kali gadis itu memukul dada bidang pria di depannya.

  Tak tahan, pria itu menahan tangan si wanita dan mendekap tubuh kecilnya dengan penuh kehangatan. "Jangan bicara seperti itu lagi. Aku tidak menyukai nya. Kau harus hidup. Bersamaku. Karna aku peduli padamu dan tak menginginkan mu mati."

  Perlahan, tangis wanita itu mereda. Ia menatap sendu mata hijau lelaki yang mendekap tubuhnya. "Terimakasih sudah peduli padaku. Hanya kau yang dapat mengerti aku. Terimakasih Andzila."

  Pria di depannya tersenyum. Senyum yang sarat akan kepedihan. Ketika wanitanya itu menyebut nama lain yang ia benci. Yaa, bahkan demi kekasih hatinya itu, ia rela di kenal sebagai orang lain. Cinta memang terkadang sejahat itu.

***

  "Bangun woii."

  "Hmm."

My AngeloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang