1

41 4 0
                                    



"Aw!" Renata mengusap kasar lengannya yang dilapisi sweater pink pucat. Dia buru-buru dan dia butuh kemulusan waktu.

"Duh, maaf Mbak, saya nggak sengaja. Lagi buru-buru soalnya."

"Ah, iya Mas, saya juga buru-buru. Mari Mas." Mereka mulai berjalan berlawanan arah. Renata membawa setumpuk gulungan kertas kalkir yang berisi desain resort yang baru saja di printnya. Divisinya mendapat proyek untuk membantu mendesain salah satu resort di Bali. Sebagai anggota termuda Renata memang selalu menjadi bahan bully-an untuk disuruh-suruh. Tak terkecuali untuk hal sepele seperti print-print begini. Entah kenapa pagi itu printer divisinya rusak. Ah rasanya dia mau menangis saja setelah ini.

Renata sudah duduk manis di ruang rapat. Menemani Pak Toni yang tersenyum masam kepadanya. Siapa suruh mendadak menyuruhnya nge-print, kan dia jadi buru-buru. Kalau buru-buru ya pasti enggak maksimal kan ya? Ah, dia benar-benar ingin menangis hari ini. Walau dia hanya telat tiga puluh menit, fine, dia sudah terlambat tiga puluh menit, itu kan bukan salahnya. Dia sudah bulak-balik karna lupa print satu gambar lagi. Pokoknya dia nggak salah, siapa suruh dia yang disuruh! Lagi pula kan kliennya juga terlambat. Tapi kenapa Pak Toni masih memberikan tatapan seperti itu. Hiks!!

Renata, gadis 22 tahun itu baru saja mendapat gelar Sarjana Arsitekturnya. Setelah berkelana jauh dari Sumatra ke Jawa Timur untuk mendapat gelar itu, dia kembali mengatur arah mimpinya. Dia harus S2! Jadi selagi menunggu dia harus cari pengalaman. Nggak boleh ada satu kesempatanpun yang dia lewatkan! Nah, disinilah dia. PT. Wirakencana, sebuah perusahaan manajemen konstruksi yang terdapat divisi arsitektur. Bekerja di tempat besar memang sudah menjadi mimpinya. Dia putri pertama ayah ibunya, menjadi kakak untuk dua adiknya, fokusnya adalah menjadi contoh terbaik. Dia memang manja, karena dia baru lepas dari rumah setelah kuliah. Sedangkan dua adiknya sudah lepas dari rumah sedari SMP karena masuk pesantren. Apa yang bisa dia banggakan sebagai kakak, hapalan Qurannya masih sedikit, setidaknya dia lancar juz 30, hapalan hadistnya apalagi, pemahaman ilmu agamanya tidak banyak, dan kedalaman imannya suka naik turun. Mungkin dia tak bisa bersaing dengan para orang alim, tapi dia bisa bersaing dengan yang buruk untuk menjadi lebih baik. Itu prinsipnya!

Dua bulannya disini dia banyak mendapatkan ilmu. Ilmunya masih sedikit sekali, walau Indeks Prestasi-nya selama di bangku kuliah hampir mendekati sempurna. Mungkin memang dia salah, terlalu fokus pada kuliahnya, namun bila diberi satu kesempatan lagi untuk kuliah, maka dia akan tetap melakukan hal yang sama. Praktik seperti yang dilakukan teman-temannya memang kadang membuatnya iri, tapi fokusnya tetaplah pada kuliah yang harus lulus tepat waktu. Dia yakin rezeki itu tidak akan kemana. Selain itu, kuliahnya adalah tanggung jawab dia kepada orangtuanya, jadi sekali lagi dia tidak menyesal.

Kembali ke permasalahan awal, dia yang anak manja memang terkadang selalu ingin menang sendiri. Renata mulai menghembuskan perlahan napasnya, dia mulai mengatur alur pikirannya. Ini semua memang salahnya, dia yang menjadi terlalu pelupa saat panik, dan ini juga salahnya, karna tidak berani membawa kendaraan, sehingga semakin menghambatnya kemana-mana. Ayahnya sempat menawarkannya mobil, walau bukan mobil mewah yang harus pakai pertamax sih ya, atau mobil mewah seharga miliyaran yang bisa pakai bahan bakar solar. Tapi menurutnya itu memang agak sedikit berlebihan. Jadi dia sudah memutuskan lepas tangan dari ayah-ibunya. Sepeda yang selalu dipakainya bulak-balik kantor kos tetap tak mungkin mendukungnya, terpaksa abang ojek online menjadi andalannya.

Pintu diketuk dari luar, semua yang ada di dalam ruangan berdiri setelah melihat siapa yang masuk. Seorang pria dengan kemeja putih, dasi hitam, celana hitam, dan juga jas hitam yang dia jinjing. Renata ingat, itu pria yang tadi bertabrakan dengannya. Duh kok hidupnya mendadak kayak FTV-FTV receh gitu sih? Eh enggak ding, mereka nggak pakai adegan marah-marah, malah pria itu terdengar sangat sopan.

ARCHITECTURE, LOVE, LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang