Sudah hampir satu tahun proyek mereka bersama. Resort juga sudah mulai 40% tahap pembangunan, dan Renata serta Adrian juga terlihat semakin akrab. Dibanding Edwin dan Karina, Renata memang lebih terlihat menyenangkan untuk menjadi teman bicara. Walaupun tak begitu banyak pembicaraan yang menyinggung masalah pribadi tapi, Adrian tahu bahwa Renata ingin melanjutkan S2. Adrian tahu bahwa Renata adalah perantauan sejati. Adrian tahu bahwa Renata selalu Sholat tepat waktu. Adrian tahu bahwa Renata selalu berusaha untuk puasa Senin-Kamis. Dan Adrian tahu bahwa Renata adalah seorang penulis novel Romance, dan Adrian tahu bahwa Renata menulis semua itu dari hasil referensi cerita teman-temannya yang sering ia dengarkan.
Tak berbeda dengan Adrian, Renata memang bukan orang yang se-detail itu. Tapi Renata tahu bahwa Adrian tidak sejudes itu. Renata tahu bahwa Adrian juga seorang muslim, karena dia tak pernah meninggalkan sholat Jumat. Renata tahu bahwa Adrian punya banyak gebetan yang tak satu pun dipacarinya. Renata tahu bahwa Adrian tak ingin segera menikah. Dan Renata tahu bahwa Adrian, sangat menyayangi Ibunya.
Tapi hanya sebatas itu pertemanan mereka. Adrian sudah mendoktrin dirinya untuk tidak jatuh hati pada gadis muda itu. Dan Renata sudah mendoktrin dirinya bahwa beasiswanya adalah hal yang dia inginkan paling besar saat ini. Itu yang selalu dia resapi, walau pun sebagai seorang wanita, dia sering terbawa perasaan pada Adrian. Pria 25 tahun itu punya rahang yang tegas. Tubuh yang tegap. Mata yang lumayan sipit, badan yang oke banget, dan yang paling disukai Renata dia pria yang amat cerdas. Namun dia cukup sadar diri. Dari gaya mentereng pria yang menggunakan Fortuner itu, tipikal perempuan seperti dirinya tak mungkin masuk kualifikasi. Dia siapa sih? Dan Adrian terlalu menakjubkan untuk remah-remah sepertinya.
Perjalanan selama di Bali juga tak membawa hubungan mereka menjadi lebih intim dalam konteks positif, seperti curhat atau chat tanpa henti. Renata selalu mendoktrin dirinya untuk tidak terpaku pada urusan percintaan. Cintanya pada Tuhannya masih terombang-ambing dengan banyak hal. Dia masih suka khilaf menonton Oppa Korea yang imut. Dia masih suka khilaf dengan mengagumi para hafiz Quran yang suka sliweran di explore instagramnya. Dan dia suka khilaf dengan sering memasukkan Adrian ke dalam mimpi masa depannya. Rasanya terlalu jauh untuk itu.
Adrian walau sering bersama, dia meyakini bahwa kedekatannya dengan Renata masih di batas wajar. Terlalu datar malah. Kedekatan tanpa sentuhan adalah hal asing bagi pria metropolitan sepertinya. Dan Renata memang menarik, tapi dia hanya sebatas kagum pada gadis cerdas itu. Gadis itu menjaga pergaulannya dengan sangat baik. Adrian memang penasaran pada gadis ajaib seperti itu, namun dia tak pernah berpikir memasukkan Renata pada list perempuan yang harus dia dekati. Dia cukup menghormati prinsip muslimah satu itu, untuk menjadikan her future huband jadi first men ever-nya.
Satu tahun delapan bulan setelah pertemuan pertama itu, hari ini adalah peresmian resort. Juga sekaligus perpisahan untuk seluruh tim. Ini adalah proyek yang paling menyenangkan bagi Renata, namun ini juga menjadi hari terakhirnya disini, ya, beasiswanya diterima. Dalam satu bulan ke depan, dia sudah bisa berangkat ke Singapura untuk melanjutkan studinya. Dia menatap canggung ke arah Adrian. Pria itu sedang menikmati minuman berwarna biru yang disediakan oleh peramu saji. Renata sendiri hanya menikmati jus jeruk di sudut ruangan. Ya, dia agak canggung bergabung dengan yang lainnya.
Gamis hitam dengan manik emas kecil-kecil di bagian bawah dan jilbab abu gradasinya membungkus tubuh indah itu. Seperti sebelumnya, ia tak merias heboh wajahnya. Selain tidak PD, ia tak punya alat tempur itu, dan dia juga tak jago mengoleskan apapun pada kulitnya. Berbeda dengan kebanyakan tamu yang datang, tak hanya pengusaha dalam negri dan beberapa artis kondang yang diundang, namun juga ada para investor luar negri. Mereka semua berdandan mewah. Selain itu, dia agak terganggu dengan bau alkohol yang semerbak dari tiap meja. Jujur, ia juga tak selera untuk menyantap hidangan lainnya. Agak takut kalau-kalau itu dicampur alkohol. Setidaknya dia bersyukur, hari ini ia kedatangan tamunya, jadi tidak perlu repot untuk mencari area sholat, toh endingnya mushollanya juga tak ada. Dia cukup sedih bila mengingat itu.
"Nggak gabung Ren?" Ah, itu suara Adrian. Pria itu masih menwan seperti sebelum-sebelumnya. Tuxedo biru dongkernya dan kemeja putih licin yang dia pakai menambah kesan mewah pada pria berjanggut tipi situ. Ya, dua bulan lalu Adrian bilang salah satu gebetannya suka bila ia berjanggut, jadi dia mulai menumbuhkannya walau tidak selalu lebat.
"Eh pak, enggak pak, silahkan. Saya disini saja." Renata menjawab canggung. Dia agak deg-degan sebenarnya, pria ini pesonanya terlalu kuat untuk ditolak.
"Saya nemenin kamu aja deh. Males disana, saya capek digoda." Adrian menjawab dengan tampang amat serius. Dan Renata yakin itu memang fakta. Siapa sih cewek cantik yang nggak akan menggoda pria sukses seperti Adrian?
"Bapak nggak takut saya goda?" Entah jawaban apa yang Renata keluarkan, tapi dia cukup malu juga setelah menyadarinya.
"Kamu mau goda saya Ren? Coba deh, siapa tau godaan kamu mempan buat saya." Adrian menjawab dengan senyum aneh pada bibirnya. Ah, sebenarnya dia cukup ingin melihat wanita dengan jilbab yang selalu menutupi dada dan pinggangnya itu merayu seorang dirinya, seorang Adrian. Tapi agak tidak mungkin sepertinya. Adrian tak pernah menemukan tatapan memuja pada diri Renata untuknya, padahal dia pikir kedekatan mereka selama ini bisa bikin Renata baper, tapi gadis alim memang agak susah ditebak.
"Saya bercanda pak, mana berani saya sama bapak."
"Lho, kan saya nggak makan orang Ren!"
"Hehe, iya sih ya pak. Tapi enggak deh, ntaran aja saya mau godain suami saya aja besok. Kasian suami masa depan saya kalau tau istrinya nanti udah pernah rayu cowok lain."
"Duh, pikiran kamu kejauhan kali Ren, katanya mau kuliah!"
"Hehehe, iya pak. Oh iya, bapak nggak mau kasih saya selamat? Saya lulus jalur beasiswa di Singapura lho pak."
"Iya? Wah! Selamat ya Ren! Saya tau kalau kamu keren."
"Hihihi, Alhamdulillah pak."
Tanpa mereka sadari, dua insane itu menyimpan kesedihan yang sama atas perpisahan mereka. Tapi keduanya sama-sama sadar diri. Bahwa hati mereka belum sanggup untuk mengikat satu dan lainnya. Renata tersenyum setelah Adrian dengan sukarela mengantarnya ke depan pintu penginapannya. Dan sebelum pulang dia bahkan ditraktir makan dulu sama pria tampan itu. Renata agak aneh sebenarnya, apa kata orang melihat gadis berjilbab seperti dirinya berjalan dengan seorang pria. Tapi ya sudahlah, semua sudah lewat. Renata hanya mengucap istighfar sepanjang dirinya menunggu waktu terlelap.
Adrian di lokasi berbeda juga mulai memegang dadanya. Ada sedikit desiran yang dia rasakan malam ini, sebuah emosi yang dia sendiri tak mengerti. Belum pernah dia merasakannya, ada bahagia, sedih, kecewa, senang, ah ini tidak dapat dinalarkan oleh IQ tingginya. Dia juga tersenyum tanpa sadar saat meraba sisi dagunya. Sebenarnya tak ada gebetannya yang ingin dia gaet dengan jenggut itu. Ini semata-mata hanya karna Renata, dia ingat gurunya pernah mengatakan bahwa janggut adalah sunnah. Dan gadis seperti Renata pasti mencari pria yang menerjakan sunnah. Sayangnya Renata tak memperhatikan kaki celananya yang berada di atas mata kaki, ya dia juga mencoba untuk tidak isbal. Dia bingung dengan dirinya, entah untuk apa dia lakukan ini.
Tanpa mereka berdua sadari lagi, rasa itu menancap walau hanya sedikit pada relung hati keduanya.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCHITECTURE, LOVE, LIFE
Teen FictionSaat Renata, gadis dengan niat kukuh untuk melanjutkan kecintaannya pada arsitektur, tapi juga berjuang untuk mendapatkan ridho Allah. Harus bertemu pria tampan yang memandang remeh keinginannya. Adrian, kosultan arsitektur yang mencoba menapikkan...