-dan Senja menghadirkan kemerekahan berbeda tiap hadirnya, Ia tak sama, tak pernah-
Hanna Fadhillah
PART 2
Raditya Utama POV (point of view)
Luka, ada yang begitu menyakitkan dari sekedar luka. Ada yang pernah merasakan luka? Sepedih apa? Sesakit apa? Bagaimana cara untuk mengobatinya? Aku punya definisi baru mengenai -sesuatu- yang lebih sakit dari luka, yang lebih pedih dari luka, yang sampai sekarang belum ku temui obatnya. Kalian tahu apa itu? Bahkan mendengarnya saja membuat ku tak sanggup untuk berkata apa-apa, membuat tubuh ini seolah berguncang meski tak gempa, membuat seisi tubuh bergejolak hingga alam semesta terasa kacau bila itu terjadi, itu lah cinta. Cinta dan jatuh cinta sangat berbeda, bagiku -cinta- lebih membunuh dari sekedar jatuh cinta. Mencintai lebih indah daripada hanya singgah meskipun keduanya tak salah. Dan kini, aku mulai merasakannya. Tuhan, ini membunuh..
Hari ini adalah hari terakhir bagi ku untuk menikmati kebebasan di luar pondok, bebas dari apa saja yang berbau pondok, terserah pada ku akan berbuat apa, aku benar-benar bebas. Liburan semester seperti ini memang merupakan event yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak boarding school atau anak pondok pesantren. Bagaimana tidak, yang biasanya harus bangun jam 3 pagi untuk qiyamul lail kini bisa sedikit mengulur waktu -menambah- jam tidur, yang biasanya berebut antrian mandi pagi agar tidak terlambat sholat jamaah shubuh di masjid, kini bisa lebih santai dan tidak perlu antri, mandi di 5 menit sebelum adzan shubuh pun masih bisa ikutan shalat sunah qabliyah di masjid, shaf paling depan tepat di belakang imam, nikmat sekali. Apalagi sejak dua tahun terakhir, ketika pertama kali Abi mengamanahkan benda yang kebanyakan di pertuhankan remaja sekarang, Abi menghadiahiku telpon pintar sebagai reward atas keberhasilanku memenangkan lomba debat bahasa Inggris tingkat nasional yang diadakan oleh perserikatan pondok pesantren seluruh Indonesia. Aku masih ingat betapa Abi begitu bangga kepada anak bungsu nya satu ini, menjadi perwakilan Indonesia untuk mengikuti lomba debat tingkat Internasional di Brunei Darussalam. Hingga Abi mulai mempercayai semua yang aku lakukan, semua yang aku inginkan, semua yang ada di benakku, Abi percaya.
*Flashback on*
"Dit, sini dulu Nak. Abi mau bicara" suara Abi membangunkan ku dari lamunan tak penting mengenai bagaimana aku bisa mengharumkan nama Indonesia di luar sana.
"Ya Bi," Jawabku simple pada Abi. Kami sangat jarang mengobrol, 2 menit adalah rekor terbesar ku selama menjadi anak Abi, hanya di 2 kali 60 detik itu Abi pernah mengatakan jikalau Ia sangat berharap banyak pada ku, anak bungsu nya, dan itu pun terjadi sudah lama, ketika aku masuk rumah sakit akibat typus. Ku beranikan diri ku keluar kamar menemui Abi yang tengah duduk di ruang keluarga dan mengabaikan baju-baju yang akan dimasukkan ke koper untuk ku bawa saat nanti terbang ke Brunei.
"Ada apa Bi?" tanya ku pada Abi
"Sudah siap beres-beresnya, Dit?" Abi malah bertanya
"Belum, Bi." Jawabku seadanya. Abi malah tersenyum memperlihatkan susunan gigi putih nya, senyum khas Abi, dan semua anak nya pasti suka.
"Abi punya sesuatu untuk mu" kalimat Abi ini membuat ku bertanya-tanya dalam hati, -sangat jarang- dan -jauh dari kebiasaan- . Abi menyodorka pada ku sebuah kotak yang sudah sedari tadi tergeletak di atas meja, entah siapa empunya. Se-cuek ini keluarga ku, hingga tidak ada yang peduli.
"Ini, coba buka" pinta Abi. Sedangkan aku hanya diam tak menjawab apa-apa. Ku ambil kotak tersebut lalu mencoba membukanya.
"Bi, ga salah? Ini buat Radit? Radit belum butuh ini, Bi. Lagi pula tidak akan terpakai nantinya, Radit masih 1 MA, di pesantren ga akan diizinin bawa ini, Bi" jawabku kaget dengan pemberian Abi. Aneh, mengapa Abi begitu berani menghadiahi remaja labil ini sebuah telpon genggam? Tidak kah Abi takut bila aku melalaikan semua urusan ku untuk benda ini?
"Abi percaya, kamu sudah besar, Nak. Benda seperti ini tidak harus melalaikan mu dalam segala hal. Kamu harus belajar menguasainya, kamu harus dewasa dengan apa yang kamu punya. Lagi pula, nanti pas kamu di Brunei pihak pesantren tidak berhak melarang kamu menggunakan hp. Kalau rindu Ummi, telpon saja ummi mu pakai hp ini. Kita bisa video call nanti. Abi percaya, anak Abi sudah dewasa" jelas Abi yang diakhiri dengan tepukan lembut di bahu ku, khas seorang ayah ketika hendak membuat tegar anak-anak nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewa Senja
RomanceSenja.. Ku ceritakan padamu lika-liku hidup seorang gadis.. Menahan temu karena belum tentu bisa bertamu.. Padanya yang telah menjadi dermaga hati.. Lirih mengaduh meski jiwa ini rapuh.. Senja.. Banyak yang tertahan selama ini, tapi ku coba menut...