Di atas kepalamu adalah mega ungu pada langit jingga. Tempat berpijakmu adalah jalan berbatu yang harus kautempuh untuk pulang setelah puas memetik bunga-bunga liar di bukit. Tidak jauh di belakangmu adalah seorang pemuda yang setia mengikutimu ke mana-mana, duduk di atas kereta kuda yang berjalan pelan-pelan. Dalam dekapmu adalah herbras, kosmos, seruni, dan beberapa bunga liar yang tidak kauketahui namanya, belum tertata karena seharusnya kamu menata mereka di rumahmu.
Rumahmu terlihat dari bukit kecil ini. Jaraknya hanya satu jam perjalanan naik kereta kuda untuk kembali pulang. Sekarang, seharusnya kamu kembali ke kursimu seiring dua ekor kuda hitam menarik keretamu kembali pulang. Akan tetapi, asap tebal dan api yang terlihat jauh dari atas bukit itu membuatmu teralihkan. Kamu berlari dari keretamu untuk mencari tempat yang mampu memperluas pandanganmu.
Bunga-bunga aneka warna terjatuh dari tanganmu yang lemas seketika. Api yang jauh sekali dari tempatmu terlihat kian membesar. Asap tebal di atasnya menghitam.
"Fyodor, rumah kita terbakar!"
"Nona!"
Kamu dikejutkan oleh suara yang sangat kamu kenal. Jalan berbatu itu tidak ada, berikut dedaunan kering yang beterbangan ketika bunga-bungamu terjatuh. Kamu tidak sedang berdiri, apalagi jatuh berlutut. Tubuhmu yang tadinya terbaring di atas tempat tidur berseprai putih mendadak terduduk karena kaget.
Tidak ada kuda-kuda hitam dan kereta, batinmu sambil melihat sekelilingmu. Kamar itu dingin karena sebentar lagi musim gugur berakhir, tetapi kulitmu basah karena keringatmu sendiri. Ingatan yang tidak menyenangkan itu membuatmu takut kembali, napasmu seperti habis dibawa berlari.
Dari semua mimpi itu, hanya tersisa sang pemuda berambut gelap yang kini duduk di atas kursi di sisi tempat tidurmu. Jika dalam mimpimu ia mengenakan kemeja putih dan setelan jas hitam khas butler di rumahmu, kali ini pakaiannya lebih santai Jas hitam itu tidak dipakainya. Hanya celana panjang hitam dan kemeja abu-abu yang lengannya digulung. Segelas air jernih ada di tangan kanannya. Raut wajahnya penuh rasa khawatir sambil memandangmu.
"Nona, tidak apa-apa," katanya berusaha menenangkanmu sambil duduk lebih dekat, "tidak apa-apa... Nona aman sekarang. Ini, silakan diminum."
"Tapi, Fyodor..."
Suaramu mendadak hilang ketika kamu ingin melanjutkan kata-katamu. Matamu terasa berat kembali. Kamu tidak sanggup. Kamu tidak bisa mengatakan kepada butler setiamu bahwa rumah keluargamu telah terbakar dan kamu ingin segera pulang demi memastikan keamanan keluargamu.
Kamu tidak bisa mengatakan itu semua karena peristiwa menyedihkan itu benar-benar baru terjadi sore tadi, dan kini sudah pukul satu dini hari ketika kamu dibangunkan oleh ingatan buruk tentangnya setelah susah-susah berusaha tidur.
Tidak ada yang selamat dari kebakaran hebat itu. Tidak ada, kecuali kamu dan Fyodor. Ayah, ibu, kakak perempuanmu, bahkan maid dan tukang kebun, semua dinyatakan tewas oleh dokter yang bersama tim evakuasi.
Tanpa mengindahkan segelas air yang diberikan Fyodor kepadamu, air matamu mulai menitik lagi. Entah untuk kesekian kalinya pada hari itu. Rumah itu bukanlah sekedar tempat tidur bagimu. Kamu tumbuh besar dan bahagia di sana. Kamu memupuk kenangan bersama orang tuamu yang penuh kasih, kakak perempuanmu yang menyenangkan, dan semua staf rumah keluargamu yang rata-rata mengabdi di sana sudah lama sekali, sejak orang tuamu masih muda.
Sangat menyakitkan melihat semua itu luluh lantak hanya dalam sekejap saja, bahkan pada hari yang seharusnya spesial untukmu.
Wajahmu terbenam dalam kedua telapak tanganmu. Isak tangismu adalah satu-satunya pemecah hening dalam ruangan. Hanya disela oleh suara gelas yang akhirnya diletakkan di atas meja kayu di sisi tempat tidurmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lilac Route
FanfictionSatu-satunya yang tersisa untukmu adalah laki-laki itu. Kali ini, hidup tidak memberikanmu banyak pilihan. Sama seperti laki-laki berambut gelap yang menatapmu dengan sepasang ametis dalam netranya, ia juga tidak memberikan pilihan. Terima kasih kep...