Aku menatap layar komputer dengan malas. Beberapa kali aku menyeka mataku yang sepertinya mulai tidak bersahabat. Rasa kantuk yang menggila membuatku tidak bisa berkonsentrasi.
Nama-nama nasabah yang tertera di layar komputer terlihat seperti mantra tidur. Hoaaaaam! Aku menguap sebelum kembali mengarang cerita bebas untuk meeting sore nanti.
Pak Revano memberi pekerjaan yang berkali-kali lipat lebih berat untuk semua marketing. Dia mewajibkan setiap pagi marketing harus merencanakan nama-nama calon nasabah yang bisa diprospek, menjelaskan potensi-potensi calon nasabah dan kemungkinannya untuk bisa menjalin hubungan dengan bank.
Dan di sore hari, dia akan menagih pekerjaan kami. Targetnya seratus persen dari calon nasabah harus bisa menjadi nasabah. Malah kalau bisa dua ratus persen.
Seperti yang kubanyangkan, tipe orang seperti Pak Revano ini hanya bisa ngomong koar-koar. Tapi coba deh kalau dia yang terjun langsung jadi marketing, jangankan bisa target, cari calon nasabah baru aja aku jamin pasti enggak bisa dilakukannya.
Jam tanganku sudah menunjukan sepuluh menit lagi menuju jam lima sore. Aku mendesah kesal. Kenyataan yang terjadi di lapangan hari ini adalah aku sama sekali tidak mendapatkan satupun calon nasabah baru.
Bagiku hal seperti itu sudah biasa. Ibarat orang berdagang, ada harinya sepi dan ada kalanya juga ramai. Nah, pekerjaan sebagai marketing juga seperti itu. Mana ada orang yang tiap hari mau buka tabungan? Taruhan deh, mau pengusaha kaya sekalipun pasti enggak mau uangnya semua disimpan di satu bank.
Aku melirik sekelilingku yang mendadak ramai. Biasanya waktu Pak Awan masih menjadi Pimpinan Cabang, jam segini di lantai dua sudah sepi. Anak-anak marketing sudah pulang meninggalkan tim operation yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka.
Pak Awan orangnya asyik, enggak kaku seperti Pak Revano. Asal target bulanan sudah tercapai, dia enggak masalah jika karyawannya ke kantor cuma buat absen dan setor muka. Aneh, kenapa sih Pak Awan mendadak dimutasi dan ditukar dengan bos baru macam gini?
"Laporan lo sudah beres?" Mbak Lana menarik kursi di sebelahku dan menyimpan tasnya di meja.
"Hampir," jawabku singkat.
"Sini biar rekap jadi satu. Tinggal tunggu Marsha lagi," katanya.
"Loh Marsha enggak sama Alex?" tanyaku.
"Hari ini Marsa kebagian prospek sama Pak Bos," Mbak Lana berbisik di telingaku.
"Ada ya pakai jadwal gitu. Ih malas banget kalau kena giliran" kataku sinis.
"Yang lain malah lomba-lomba pengen bareng dia. Kok lo ogah sih." Mbak Lana terkikik.
Bagaimana bisa aku berbaik hati menerima bos baru itu. Di hari pertamanya bekerja saja sudah mempermalukan aku berkali-kali.
"Tuh yang diomongin datang," bisik Mbak Lana lagi sambil menyalakan komputernya. Aku menarik napas panjang.
"Team, lima belas menit lagi kita kumpul di ruangan saya," katanya sambil berlalu dan kemudian masuk ke ruangannya. Marsha yang tadi mengekori langkah Pak Revano kemudian berbelok dan duduk di sebelah Mbak Lana.
"Cerah amat wajah lo," sindir Mbak Lana. Marsha nyengir dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi laporan hariannya.
"Pak Revano tuh bos paling baik yang pernah aku kenal," cetusnya dengan wajah sumringah. Aku mendelik dan menoleh ke arah Mbak Lana.
"Baik sih baik, sini cepatan laporan lo. Keburu meeting nih," sahut Mbak Lana. Marketing paling genit di kantor inipun meyerahkan laporannya. Mbak Lana sebagai Team Leader Funding bertugas memastikan pekerjaan bawahannya beres sebelum menyerahkannya kepada Pimpinan Cabang.
"Rea, gue nyontek laporan lo." Kepala Alex muncul dari balik kubikel.
"Hush! Lo pikir lagi ujian apa?!" hardik Mbak Lana. Aku terkikik dan pura-pura tidak mendengar permintaannya.
"Sudah jam lima. Buruan kita ke ruangan Pak Bos," perintah Mbak Lana. Selain kaku, Pak Revano juga orang yang sangat tepat waktu. Tidak ada sedetikpun waktu yang akan disia-siakannya.
Aku mengekori langkah Mbak Lana menuju ruangan Pak Revano. Hawa ketidaknyamanan mulai merasukiku, apalagi setelah duduk dan bertatapan mata dengannya.
"Baik selamat sore semuanya. Kita langsung mulai aja ya. Dimulai dari Lana, gimana pencapaian anak buahmu hari ini?" Tanpa basa-basi dia memulai meeting-nya. Aku meremas-remas rokku, berharap tidak ditayain macam-macam olehnya.
"Sore juga Pak. Hari ini pencapaian team funding di atas rata-rata. Hampir semuanya target, kecuali Marsha yang katanya menemani Bapak tadi."
"Iya dia menemani saya bertemu pemilik PT Angkasa yang katanya mau payroll dengan kita." Pak Revano memotong pembicaraan Mbak Lana.
"Silahkan marketing-nya sendiri yang menjelaskan," lanjutnya sambil matanya menatap ke arahku. Artinya giliranku yang berbicaram
"Sore Pak. Seperti yang tadi pagi saya jabarkan, ada sepuluh orang calon nasabah yang saya prospek hari ini. Semuanya memiliki peluang besar di bank kita." Aku berhenti sesaat dan menarik napas panjang. Tatapan tajam mata Pak Revano mau tidak mau membuatku salah tingkah.
"Yang pertama pemilik toko bangunan Arta Bangunan. Sebenarnya anak-anaknya sudah menjadi nasabah kita. Tadi dia berminat dengan salah satu produk tabungan yang saya tawarkan dan besok akan datang ke kantor," lanjutku.
Aku terus menjelaskan calon nasabah rekaanku sampai pada urutan ke sepuluh. Bola mata Pak Revano sesekali berputar, seperti sedang mencerna perkataaku. Duh, jangan sampai dia sadar kalau aku sedang membohonginya.
"Coba ulangi calon nasabah yang terakhir kamu sebutkan," ucapnya tiba-tiba.
"Putri pemilik D' Lounge Cafe, Pak. Dia berminat mendepositokan dananya," sahutku dengan berdebar.
"Besok atur jadwal bertemu dengannya. Saya temani kamu prospek," ucapnya tegas.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Sial! Biarpun putri pemilik D'Lounge Cafe yang kumaksud adalah kakak iparku sendiri. Tapi aku seratus persen yakin Mbak Gladys sama sekali enggak berminat dengan produk perbankan. Seumur aku bekerja di bank, secuilpun dia tidak pernah berminat dengan rayuanku.
Aku tidak mendengar dengan cermat lagi pembicaraan di meeting kali ini. Aku hanya mendengar dia menyebutkan nama marketing satu persatu dan meminta menjelaskan hasil prospeknya. Pikiranku bercabang memikirkan nasibku besok. Inilah akibatnya jika kebanyakan bohong.
Yang terakhir dia menyebut nama Mas Radit, collection kredit yang kebetulan bisa ikut meeting karena lebih banyak berada di lapangan.
Tunggu...sepertinya ada yang tidak beres di meeting kali ini. Pak Revano bisa dengan mudahnya menyebut nama semua marketing tanpa ada kesalahan nama. Tapi...rasanya dari tadi dia sama sekali tidak menyebut namaku. Apa dia belum tahu namaku?
"Meeting sore ini selesai. Jangan lupa persiapkan diri buat besok. Semangat ya, team!" Dia menutup meeting-nya.
Aku beranjak dari dudukku dengan buru-buru. Aku harus cepat pulang hari ini.
"Eh...kamu!" Aku menoleh mencari sumber suara. Siapa sih yang dipanggil.
"Iya, kamu." Suara itu semakin jelas di telingaku.
"Ingat, jangan lupa atur jadwalnya!" Pak Revano berdiri tepat di belakangku.
"Maaf, apa Bapak enggak tahu nama saya?"
--
11 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Duh My Boss! (Pindah Ke Innovel/Dreame)
Chick-LitPindah ke Dreame/Innovel, search aja judul yang sama atau akun Dreame/Innovel ra_vaa 💃💃💃 ------- Aku, Rea. Seorang karyawan di salah satu bank swasta yang katanya ternama di Indonesia. Dengan gaji pas-pasan dan tekanan kerja yang begitu kuat, ju...