5. Disekap Pak Bos

93.9K 10.9K 295
                                    

Pagi ini suasana kantor terlihat grusak-grusuk. Nina sibuk bolak balik keluar masuk ruang file dan meninggalkan counter Customer Service-nya. Sedangkan Mbak Via, bosnya operation terlihat berwajah tegang dan enggak membalas sapaanku.

Ada apa sih? Rasanya tadi waktu briefing, mood-nya Pak Revano juga sedang bagus. Enggak marah-marah dan mengomentari ini itu yang sepele, seperti meja yang berdebu, kaca yang kurang kinclong, ataupun keranjang sampah yang kurang kece.

"Cek berkas-berkas di laci lo. Jangan sampai ada buku tabungan nasabah atau dokumen presign." Mbak Lana menghampiriku saat aku baru mau menaiki tangga ke lantai dua.

"Emang kenapa, Mbak? Pak Revano kambuh lagi?" tanyaku.

"Ada audit. Buruan, jangan sampai mereka curiga," bisiknya. Aku memutar bola mataku. Pantas saja pagi ini suasana kantor mendadak gaduh.

Biasanya yang paling banyak diincar oleh audit adalah tim marketing. Banyak celah-celah yang memungkinkan marketing melakukan pemalsuan, penipuan, dan kebohongan demi target. Tapi tim marketing jugalah yang paling enggak mau ambil pusing saat audit mulai datang. Tinggal kabur aja, pura-pura ada janji sama nasabah.

Tinggalah tim operation yang kelimpungan saperti cacing kepanasan. Grusak-grusuk sana-sini dengan wajah tegang plus kesal.

Aku termasuk orang yang enggak ambil pusing dengan kedatangan audit. Toh mereka juga manusia. Bedanya cuma di kerjaan aja yang hobi mencari kesalahan orang.

Aku melangkahkan kaki dengan perlahan sambil berusaha mengingat-ingat benda apa saja yang kusimpan di laci. Selain mengurusi kerjaan, audit juga kadang mau tahu urusan pribadi. Masa sampai area pribadi seperti tas, loker, dan laci juga mesti diperiksa?

"Rea?" Aku menegadahkan wajah saat mendengar namaku disebut. Sesosok makhluk tampan sedang berdiri tepat di hadapanku. Otot-otot kekarnya terlihat malu-malu menyembul dari balik kemejanya. Owh!

"Iya," jawabku ragu sambil meneliti lelaki di hadapanku ini. Sejak kapan aku punya kenalan lelaki seperti ini, yang bisa buat jantung ketar-ketir hanya dengan melihat jempol kakinya.

"Gue Niko. Masih ingat enggak? SMA Harapan kan?" Bahkan suaranya juga terdengar sangat merdu.

Apa tadi katanya? Niko?! Si culun berkacamata yang pernah ngirim surat cinta ke aku? Serius?!

"Niko?!" Aku bahkan masih tidak yakin dengan ingatanku.

"Iya. Yang dulu pakai kacamata," ujarnya. Aku tersenyum ngeri. Masa sih orang seculun itu bisa bertransformasi sedrastis ini? Dia enggak habis operasi plastik kan?

"Gue ingat kok. Kok lo ada di sini? Karyawan baru?" tanyaku bersemangat, bahkan terlalu bersemangat.

"Oh, kebetulan seminggu ini gue dan tim bertugas di cabang lo," jawabnya. Tunggu...jangan bilang Niko ini audit yang akan memporak-porandakan cabangku kali ini.

"Lo...audit?" tanyaku ragu. Dia mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana bisa aku melewati hari-hariku di kantor ini dengan audit yang setampan Niko? Aku pasti bisa gila!

"Gue ke bawah dulu. Mau periksa ruang khasanah. Ntar minta kontak lo ya." Katanya sambil meninggalkanku yang hampir ngiler menatap perut ratanya. Kalau auditnya setampan itu, diperiksa setiap haripun aku rela kok.

"Rea, ke ruangan saya sekarang." Byar, dan lamunanku buyar seketika dengan pemandangan si bos galak yang sedang menatapku tajam. Selalu saja begitu, menganggu imajinasiku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku sambil mengikuti langkahnya.

"Ada beberapa permintaan special rate deposito yang belum lengkap tanda tangan pejabatnya." Dia membuka pintu ruangannya dan membiarkan aku masuk.

"Biasanya Mbak Lana yang ngerjain, Pak," kataku.

"Lana sedang ada janji sama nasabah. Kamu aja yang kerjakan," sahutnya. Aku mengernyit.

"Kerjakan di komputer saya. Kamu tinggal me-foward email yang sudah ada. Tinggal kamu cocokan datanya dengan di sistem," perintahnya.

"Biar saya kerjakan di meja saya aja, Pak," kataku risih. Masa iya aku mesti berduaan dengannya di ruangan ini.

"Disini aja! Setelah itu masih ada yang harus kamu kerjakan lagi," ujarnya.

"Tapi Pak, saya ada janji sama nasabah siang nanti."

"Tunda dulu sampai besok," sahutnya enteng.

"Kan lebih penting cari nasabah daripada ngerjain hal sepele kayak gini, Pak," protesku. Mendadak matanya melotot tajam. Aku pura-pura tidak melihat dan sibuk menatap ponselku yang memang berbunyi karena ada pesan masuk

"Jangan cari alasan. Hal sepele kayak gini kalau jadi temuan audit bisa menurunkan nilai kalian." Suaranya terdengar meninggi. Aku menyimpan kembali ponselku. Ternyata pesan dari Niko. Cepat juga dia ngedapatin nomor ponselku.

"Tapi sampai jam makan siang aja ya, Pak," pintaku dengan nada memelas yang dibuat-buat.

"Kamu juga biasanya makan siang di kantor." Dia kemudian duduk di sofa dan mengambil koran hari ini. Enak banget ya jadi bos, tinggal perintah ini itu.

"Diajak makan siang sama audit yang tadi, Pak. Kebetulan teman sekolah dulu." Aneh kenapa harus kujelaskan segala sih.

"Telepon Rohim. Minta belikan dua bungkus nasi di warteg sebelah!" Perintahnya tak terbantah. Duh si Bapak ngerti enggak sih sama omonganku tadi. Ngapain dia mau bungkus nasi segala.

"Sebaiknya kamu jangan terlalu menjalin hubungan baik dengan audit. Mereka memang terlihat baik di hadapan kita, padahal saat itulah sebenarnya mereka sedang mengintrogasi dan menemukan kesalahanmu." Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti pidato di siang bolong. Enggak penting.

"Dan kamu jangan keluar dari ruangan ini sampai saya ijinkan!"

--

Duh My Boss! (Pindah Ke Innovel/Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang