"Lambat merambat tepat bersahabat, nyaman perlahan damaikan perasaan, hasrat tersirat terlamabat tersurat, kenyataan kehidupan pupuskan harapan.
Nada mesra menyapa telinga, sendu mendayu membuatku pilu, asmara adakalanya menyiksa, tentu hatiku beku waktu rindu.
Harmoni memenuhi sanubari, terngiang menjelang bintang mmbentang, resah gelisah berbuah pasrah, harapkan Tuhan berikan kebahagiaan."***
Habbibah kembali termenung di sudut kamar menatap potret masa lalu waktu kelulusan SMP. Sketsa waktu yang mengabadikan kebersamaan bersama teman sekelasnya tempo dulu.
Tergambar jelas wajah-wajah lugu sekumpulan anak remaja memakai seragam biru putihnya berekspresi seadanya. Tampak dirinya tersenyum kearah kamera.
Tapi, bukan itu yang membuatnya terpaku menatap foto di dinding kamarnya. Dia fokus menatap seorang lelaki berperawakan tinggi, putih, dan tampak lebih dewasa dari teman sebayanya.
Ya, dialah Lukman Firmansyah. Laki-laki yang mampu mencuri hati Habbibah.
Dari luar, terdengar suara mobil berhenti tepat di halaman rumahnya. Habbibah membuka gorden penutup jendela kamarnya.
Benar saja yang diduganya, Naufal dan keluarganya yang datang. Sedangkan Habbibah masih belum tahu harus bagaimana menghadapi saat seperti ini.
Menolak akan membuat ayahnya marah. Menerima akan mengikat dirinya dalam setatus hubungan yang tidak main-main. Entahlah! Biar berjalan seperti seharusnya saja bisik dalam hati Habbibah.
Bu Maryamah dan pak Handoyo menyambut dengan ramah kedatangan Naufal dan keluarganya.
Pak Handoyo, mempersilahkan masuk kepada keluarga pak Irwan. sedangkan bu Maryamah, bergegas ke kamar Habbibah.Mendapati Habbibah masih duduk dengan penampilan seadanya, bu Maryamah langsung masuk kamar karena pintu tak ditutup sejak Habbibah pulang dari taman sore tadi.
"Bibah, pakai jilbabmu! Tidak enak kalau menemui keluarga pak Irwan dengan pakaian seperti ini, tanpa jilbab."
"Kenapa, Bun? Kan, Bibah pakai kemeja lengan panjang dan celana panjang? Bukankah sudah cukup sopan?"
"Iya! Tapi, ayahmu pasti marah kalau kamu menemui Naufal dan keluarganya tanpa mengenakan jilbab. Jangan mengecewakan ayahmu!"
Habbibah berdiri membuka lemari dan mengambil jilbab berwarna biru muda yang sudah nampak kusut karena terlalu lama disimpan di dalam lemari.
Kalau dilihat-lihat jilbab itu kurang cocok untuk disandingkan dengan kemeja warna hitamnya. Ya, memang itu tujuannya, agar penampilannya terlihat tak menarik di mata Naufal.
"Kalau sudah, bantu Bunda bawa minum ke ruang tamu," pesan bu Maryamah yang hendak beranjak dari kamar Habbibah.
"Baik, Bunda," jawab Habbibah.
***
Di Masjid Hidayatullah. Lukman masih sibuk mengepel lantai berkeramik putih polos di serambi yang sedikit kotor oleh debu. Sudah menjadi kebiasaan setelah sholat Isya, ia membersihkan lantai dan halaman Masjid.
Dari kejauhan, tampak seorang gadis belia yang tergesa-gesa ke arah Lukman.
"Mas, ada ustaz Ghofur menunggu di rumah," kata gadis itu setelah sampai di halaman masjid. Ia adalah Umairah, adik Lukman yang baru berusia 15 tahun.
"Iya, sebentar lagi Mas pulang," jawab Lukman, lalu sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya.
Setelah selesai, Lukman berjalan pulang ke rumahnya dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Tapi, Lukman agak melambatkan langkahnya ketika melihat mobil yang terparkir di halaman sebuah rumah tak jauh dari Masjid Hidayatullah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mukadimah Cinta [ Sudah Terbit ]
Teen FictionDalam novel Mukadimah Cinta, tidak hanya berisi Romantisme seperti yang dibayangkan. Selain membangun pengertian landasan cinta secara islami, dalam kisahnya, penulis mengisahkan Habbibah yang suka menulis puisi dengan bermacam jenis, misalnya : Ak...