04. Harapan

2.6K 120 2
                                    

"Semoga takdir menyatukan dua hati
Semoga bersemi kasih dalam sanubari
Semoga rindu tak menjadi duri
Semoga bahagia selimuti hidup ini."

***

Habbibah berdiri di pintu rumah, sedangkan ayah dan ibunya berdiri dekat dengan mobil yang di dalamnya terdapat keluarga pak Irwan.

"Hati-hati, Wan!" kata pak Handoyo yang wajahnya tepat berada di kaca sebelah kanan bangku belakang.

"Iya, assalamu'alaikum," jawab pak Irwan dan istrinya hampir bersamaan.

"Mari, Om!" pamit Naufal menyunggingkan senyum santun kepada pak Handoyo dan bu Maryamah.

Mobil melaju meninggalkan halaman rumah tersebut. Pak Handoyo segera membalikan badan lalu menghampiri Habbibah yang masih berdiri di ambang pintu.

"Bibah, kenapa kamu tidak menerima saja? Bukankah ayah sudah menjelaskan semuanya padamu."

"Bibah enggak cinta sama dia," Habbibah berlari ke kamarnya.

"Habbibah!" bentak pak Handoyo.

"Sudahlah, Pak. Jangan terlalu keras! Habbibah itu sudah dewasa, dia bisa berpikir yang terbaik untuk dirinya. Habbibah cuma minta waktu untuk berpikir," ujar bu Maryamah mencoba menenangkan suaminya.

"Waktu, waktu, sampai kapan? Sudah seminggu yang lalu kita memberitahu kalau hari ini Naufal akan melamarnya."

"Pak, sudahlah! Yang sabar," tutur bu Maryamah.

"Dasar! Anak tak bisa diatur," gerutu pak handoyo berjalan memasuki rumah dengan tak berhenti meluapkan kekecewaannya.

Sedangkan Habbibah telah terbaring di kasurnya, membungkam tangisannya dengan bantal agar tak terdengar dari luar kamar.

Tak henti ia berdoa memohon petunjuk apa yang seharusnya dilakukan, menerima Naufal? Rasanya tak mungkin, berat rasanya menerima lamaran itu.

Habbibah teringat suara Lukman, kata-katanya kembali terngiang.
"Tetaplah tersenyum! Karena sebuah senyuman adalah guru terbaik untuk sekeping hati."
Tapi, untuk kali ini rasanya Habbibah tak mempunyai satu alasan pun untuk tetap tersenyum.

Hampir tak ada kebahagiaan di dalam hatinya. Namun, ia teringat betapa tegar dan sabarnya Lukman, ketika kenyataan terpahit dalam drama kehidupan ini memaksanya menangis ia tetap sempat melukiskan senyum di bibirnya yang seharusnya mengalunkan isak tangis karena kehilangan kedua orang tua yang paling dia cintai.

Habbibah pun mengingat jelas betapa sabar Lukman menjalani hidupnya hanya bersama Umairah.

"Yaa Allah, kepada siapa aku mengadu, kalau bukan padaMu? Pada siapa aku memohon, kalau bukan padaMu?
Berikanlah kebahagiaan duniaku, dan akhiratku. Engkau Maha Memberi, Maha Memilki. PadaMu kupasrahkan urusanku ini."

Mata terpejam, hati mengharap ketentraman. Jiwa gelisah melihat kenyataan. Inikah takdir Tuhan? Habbibah benar-benar ingin pergi dari rumah. Rasanya ingin mencari sendiri kehidupannya. Malam semakin larut begitu pun Habbibah semakin larut dalam kesedihannya.

***

Pagi itu, Airin telah siap berangkat ke toko milik ibunya di Pasar Kliwon Kudus, yang disebut juga Kliwon Trade Center (KTC).

Pasar tradisional itu selalu menjadi tujuan para pembeli untuk berbelanja dalam jumlah banyak. Pasar grosir terbeaar di kota Kudus itu setiap hari ramai di penuhi pengunjung. Banyak juga yang datang dari luar Kudus.
Hanya butuh beberapa menit dari rumahnya yang berada di Pedawang untuk menuju Pasar Kliwon Kudus. Sesampainya di sana, ia mulai menata baju-baju dagangaannya.

Mukadimah Cinta [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang