Di pagi buta seperti in, Bintang sudah menginjakkan kaki di SMA Pancasila. Mengambil napas panjang, Bintang merasakan sejuknya udara pagi yang sehat ini. Sesekali pun terdengar suara kicauan burung yang tertengger di atas pohon. Entah kenapa hari ini ia sangat bersemangat untuk datang ke sekolah hingga tepat pukul enam sudah berasa di tempat ini.
Setelah memarkirkan kendaraan, langkah kakinya berderap menyusuri lorong-lorong kelas yang masih sepi. Belum ada sama sekali murid yang datang. Sepanjang jalan hanya beberapa petugas kebersihan sekolah yang sedang menyapu halaman atau membuka kunci pintu kelas.
Masih ada banyak waktu sebelum bel berbunyi. Hal itu lantas membuat Bintang berbelok ke arah ke kantin. Poin plus kantin sekolah SMA Pancasila ini adalah para pedagangnya datang pagi-pagi sekali. Jadi banyak siswa yang sudah bisa melihat satu-dua dari para penjual mulai menyiapkan makanan dan minuman yang akan disajikan. Bintang pergi ke salah satu pedagang yang menjual roti-rotian dan membeli sebuah roti isi cokelat. Bintang hendak buru-buru kembali ke kelas setelah membayar akan tetapi sesaat sebelum itu saat pandangannya mengedar ke sekeliling, ia menemukan seseorang yang sedang duduk sambil memegang gelas teh yang tampaknya masih panas itu dengan kedua tangannya. Asap teh tersebut mengepul, namun tatap matanya terlihat kosong.
Bintang menghampiri orang itu dan duduk di depannya.
"Hei." Bintang menyapa pelan, membuatnya mendongak ke sumber suara. "Loh, Adin? Kok cepet banget datang jam segini?"
Dia hanya merespons dengan senyuman tipis lalu menyeruput tehnya.
Bintang buru-buru menahan gelas teh itu. "Pelan-pelan, gue tau itu masih panas."
"Baju lo nanti gue ganti ya."
"Gak usah di ganti juga nggak apa-apa. Santai aja."
"Ta-tapi—"
Laki-laki itu mengibaskan tangannya di udara, pertanda ucapannya benar-benar sesuatu yang harus dianggap serius. "Kemarin, lo pulang nggak dimarahin sama orang tua lo 'kan?"
Ia menatap sejenak. "Enggak kok. Lagian udah biasa."
Bohong.
"Yakin?"
"Iya. SIAP, PAGI KAK!"
Tiba-tiba Adin bersuara lantang dan berdiri dari bangkunya. Membuat Bintang terkejut bukan main.
Ia mendatangi seorang perempuan yang sepertinya seorang senior paskibra. Tidak mendapat respon dari senior tersebut, Adin bahkan mengejarnya hingga mendapatkan salam balik.
"Siap, pagi, Kak!"
Aku mendengarnya lagi.
"Pagi."
Tak lama Adin kembali, duduk dan menyeruput tehnya yang sudah tidak terlalu panas hingga setengah gelas secara terburu-buru
"Segitunya ya?"
Salah satu alisnya menaik. "Maksud lo?"
Bintang menaikkan dagunya sedikit. "Yang barusan lo lakukan. Segitunya?"
"Kenapa? Lo nggak pernah diajarin untuk hormat sama senior ya?" Adin membalas dengan nada tidak suka.
Sang lawan bicara tak langsung menjawab melainkan membuka bungkusan roti cokelatnya hingga setengah.
"Pantes, kalian urakan."
Boom.
"Adin. Lo boleh ngeledek-ledekin gue tapi jangan bawa-bawa yang nggak berkepentingan bisa?"
Dia pergi begitu saja. Meninggalkan Bintang yang tersentak mendengar perkataanya barusan. Ia hanya geleng-geleng kepala seraya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kata-kata tersebut. Roti cokelatnya disambut baik pada gigitan kedua. Lalu gigitan kedua sedikit lebih lebar hingga roti tersebut menyisakan sedikit potongan kecil yang akan habis dalam satu suapan. Remah-remah roti berjatuhan, memenuhi meja kantin.
Kenyataannya, Bintang berpikir keras.
Terutama ketika Adin mengucapan kebohongan.
Sebenarnya, ada apa sama lo, Adin?
KAMU SEDANG MEMBACA
An Extraordinary Different Things
Teen FictionExtra Series 2. Bintang seorang pramuka, Adin seorang paskibra. Bintang suka Adin sejak pertama kali ia melihat Adin yang sedang dihukum oleh seniornya di belakang sekolah. Adin yang merasa didekati oleh Bintang pun bingung h...