8. Kala itu saat merasa resah..

10 3 0
                                    



  "Gue butuh pelarian, Ra. Lo tau itu 'kan?" ─ Adin 

Marah.

Pagi ini entah mengapa Adin tidak bisa dikontrol. Sengaja ia datang pagi-pagi sekali untuk menenangkan diri, kabur dari rumah yang tidak terasa seperti rumah, berharap akan menemukan ketenangan duniawi. Semuanya baik-baik saja hingga orang yang masuk dalam daftar "sesuatu yang harus dihindari" tiba-tiba muncul, bahkan duduk di depannya dengan tampang yang menjengkelkan.

Bintang.

Aliran darahnya berdesir untuk sesaat karena perasaan bersalah yang hinggap, demikian juga peristiwa kemarin yang sangat memalukan itu. Mau di taruh dimana wajahnya ini? Adin hanya bisa pasrah. Semuanya masih baik-baik saja hingga tiba-tiba seorang senior melintas di depan pelataran kantin. Adin pun menghampirinya lalu mengucap salam seperti biasa. Adin menghela napas, lelah. Mengapa senior yang satu itu tidak bisa diajak kerja sama di pagi yang baik ini? Senyum yang terbit di bibirnya luntur seketika tatkala sang senior malah berjalan terus melewatinya seolah Adin hanyalah bayangan.

Namun Adin masih berbesar hati untuk mengikuti jejak senior tersebut hingga keduanya berhenti di tempat yang agak jauh dari kantin.

"Ngapain kamu sama anak pramuka itu?" cetusnya.

Adin mundur beberapa langkah karena kaget dengan pertanyaan itu. Lalu senior perempuan itu pergi.

Ia sudah tidak memperdulikan lagi apakah hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan angkatan senior untuk mengevaluasinya atau tidak. Yang jelas, Adin hanya ingin merasa damai selama beberapa jam pagi ini. Perempuan itu mengetatkan kunciran rambutnya. Salah satu bagian yang paling ia sukai dari dirinya adalah rambut hitam yang legam, bersinar saat terkena mentari. Diam-diam, Adin membanggakannya.

Sekembalinya ke kantin untuk menghabiskan minuman, tiba-tiba Bintang menceletuk, membuat sesuatu dalam dadanya hendak meledak. Alhasil Adin membentaknya dan pergi dari situ meninggalkan dia yang tampaknya terkejut dengan bentakan itu. Tanpa menoleh ke belakang, ia melanjutkan langkah kakinya meski Adin tahu perkataannya sedikit keterlaluan.

Adin dan Bintang itu adalah rival untuk beberapa alasan. Lalu bagaimana bisa dirinya memiliki hutang budi dengan rival sendiri?

"Din? Adin? Lo dari tadi dengerin gue 'kan?" Zara menepuk dan menggoyang-goyangkan pundaknya dengan kasar, membuat Adin sedikit tersedak dengan thai tea yang sedang diminum.

"Mck. Apa sih, Ra?" Adin menggerutu seraya berusaha menjauhkan tangan Zara yang sibuk menganggu ketenangan jiwa.

"Tuh 'kan." Zara mendesah kecewa. "Lo nggak dengerin gue lagi. Males gue."

Adin hanya diam menanggapi sahabatnya. Sungguh, moodnya sedang tidak baik karena beberapa hal, keduanya terdiam selama dua menit hingga Zara bersuara kembali yang membuatnya terkesiap.

"Eh paskib kita udah dapat undangan belum ya?"

"Undangan apa?"

"Lomba," balas Zara singkat.

Pengumuman itu membuat api semangatnya menggelora lagi. Terlintas seberkas cahaya pada wajah murungnya. "Akhirnya lomba juga, yes!"

"Gitu aja baru lo semangat!" cecar Zara.

"Gue butuh pelarian, Ra. Lo tau itu 'kan?"

Zara terenyuh mendengar itu kemudian memegang pundak sahabatnya, kali ini dengan pelan. "Iya gue tau kok. seenggaknya yang lo lakuin itu positif."

An Extraordinary Different ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang