Banyak pertanyaan yang hinggap di benakku seperti selama beberapa menit, seperti ;
"Lo kelas berapa?"
Atau
"Thanks karena lo sadar diri untuk tanggung jawab atas perbuatan lo."
Atau
"Kenapa amarah lo bisa sebesar itu?"
Baru saja Bintang ingin berkata demikian, perempuan itu, yang kini ku tahu bernama Adin mendadak pergi entah kemana setelah mengetahui bahwa ada yang datang yaitu teman seangkatan ekstrakulikulernya.
Dengan memasang tampang kepo, Rio bertanya. "Siapa tuh, Bin?"
"Oh itu ...." kataku sambil menatap ke arah lain. "Anak paskib katanya."
"Wow. Seriusan, Ndan?" Gani merespons dengan takjub, biasa memanggilnya dengan sebutan Komandan atua disingkat dengan Ndan. "Ngapain tuh cewek?"
"Ndan, ndan. Gue bukan komandan," sergah Bintang karena agak risih dengan panggilan itu. Bukan apa, Bintang menjalani organisasi ini ikhlas serta tidak ada ambisi yang mengarah ke sana. Bintang hanya takut orang lain akan menganggap yang bukan-bukan tentang jabatannya di organisasi tersebut. "Dia ngotorin baju gue. Terus tahu-tahu dia dateng kesini mau tanggung jawab. Ya ... salah gue juga sih."
Gani dan Rio hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanpa ada minat sama sekali untuk melanjutkan obrolan seputar Adin. Beberapa dari kami memang enggan untuk membahas tentang Paskibra dan seisinya. Menjadi rival akibat cerita turun-temurun membuat sebagian dari dua kubu tersebut menjadi musuh secara tidak langsung. Maka dari itu, untuk menyurut api abadi di antara keduanya, Bintang memberi saran yang telah menjadi peraturan tak tertulis bahwa sebaiknya tidak ada yang bersuara tentang anak-anak dari kubu Paskibra.
"Jadi, lo berdua ada perlu apa kesini?" tanya Bintang kemudian.
Rio tampak membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana lalu mengulurkan sebuah surat pada. "Undangan buat kemsa. Minggu depan."
"Acara siapa?"
"Pramukanya SMA Karsa," jawab Rio. "Lo ingatkan yang tahun lalu bikin kompetisi seprovinsi bahkan pramuka elit dari kota lain sampe ikut juga. Gue masih takjub mereka sanggup ngadain lomba sebesar itu untuk ukuran pendatang."
"Yang sekolahannya empat tingkat itu? Inget! Inget banget gue! Hospitalitynya bagus juga, gue seneng soalnya mereka kelihatan udah berpengalaman banget padahal itu event pertama."
"Menurut gue, mereka bakal didaulat jadi tuan rumah lagi untuk event tahun depan." Gani ikut menyalip dalam obrolan itu. "Ya udah, kita cuma mau kasih itu aja ke lo."
Bintang mengangguk sembari melipat surat tersebut dan menyelipkannya di kantung celana. "Positif banget. Oke. Makasih ya."
"Sip," kata mereka serempak lalu pergi dari situ.
Tak lama ponsel Bintang bergetar, menampakkan sebuah nama pemanggil yang tertera disana. Ia segera menerima panggilan itu dengan menslide layar pipih tersebut ke arah kanan. Terpampang jelas nama Sutan.
"Ya?"
"Lo dimana? Kita nunggu di parkiran nih. Ada anak sebelah ngajak sparing futsal."
Bintang menatap jam tangannya sejenak. Masih ada waktu luang cukup banyak hari ini. Sudah cukup lama juga ia tidak ikut main futsal setiap kali mereka mengajak karena akhir-akhir ini hampir setiap waktu luang yang ada dihabiskan untuk mengurus ekstrakulikuler.
"Ikut gak lo?" Sutan menunggu jawaban di seberang telepon
"Ikut." Bintang mengambil tas ranselnya yang berwarna biru itu seraya menukar posisi ponsel dari telinga kanan ke kiri. "Tungguin bentar."
"Akhirnya komandan kita ikut guys," ucap Sutan, terselip nada gembira disana.
***
Tepat jam empat lebih sepuluh menit, bel pertanda waktu sewa lapangan berbunyi nyaring. Pertandingan futsal ini dimenangkan oleh tim mereka dengan telak. Dibantu oleh beberapa pemain lain yang berasal dari teman-teman sekelasnya dan hasil skor berakhir pada point 4-1.
Bukan sombong, mereka ini cowok-cowok yang cukup handal dalam olahraga.
Para pemain melipir ke pinggir lapangan. Tubuh mereka dikelilingi oleh hawa panas setelah hampir dua jam nonstop bermain dengan semangat. Seolah lemak dibakar habis di dalam tubuh lalu berekskresi menghasilkan aliran keringat yang mengucur ditiap pori-pori. Bintang meneguk air mineralnya sampai tuntas kemudian mengambil handuk kecil untuk mengusap bulir kelingat di antara wajahnya.
"Mau nongkrong dulu nggak?" tanya Sutan di sela-sela istirahat.
Keempatnya saling beradu pandang, menunjukkan respon yang positif. Terkecuali Bintang.
"Gue mau pulang langsung aja. Biasalah."
"Yah, nggak asik ah, Bin. Kita kan kangen nongki bareng," sungut Randy tak lupa tampang sedihnya seperti ditinggal nikah oleh pujaan hati.
Alfa yang terlihat jijik mendengar itupun memencet botol minum yang sedang diteguk oleh Randy. Jroot! Alhasil, Randy kaget dan tersedak oleh air minumnya.
"Monyet lo, Al!" hardik laki-laki itu.
"Dangdut banget lagian! Kayak cewek-cewek aja," balas Alfa tanpa memperdulikan tatapan laser Randy.
Bintang jadi merasa bersalah. Seperti yang ia katakan tadi, akhir-akhir ini kegiatan organisasi yang sedang dijalani menyita cukup banyak waktu luangnya. Alhasil, quality timenya bersama ketiga cecunguk ini nyaris tidak ada. Bahkan baru inilah ia bisa menerima ajakan main mereka. "Sorry my friends," katanya tak kalah sedih.
Sutan berdiri dan menepuk-nepuk pundak Bintang. "Iya santai aja, Bin. Kita udah biasa menunggu kok."
Sangat jelas nada menyindir di sana akan tetapi keempatnya kompak larut dalam tawa. Masing-masing dari mereka pun mengerti betul prioritasnya sendiri. Terlebih masa-masa sekarang mendekati penerimaan siswa baru, akan sangat sibuk untuk beberapa kalangan mengurus hal ini dan itu.
Bintang selesai lebih cepat membereskan diri. Ia pun pamit pada ketiga sahabatnya dan teman-teman yang lain. Berderap menuju parkiran, Bintang menaiki motor matik andalannya keluar dari halaman parkir. Lapangan futsal ini berada tak jauh dari kawasan sekolah sehingga jalur yang ia tempuh untuk pulang akan selalu sama.
Saat ia ingin menarik gas untuk melaju ke jalanan utama, laki-laki itu melihat banyak orang berkumpul di seberang jalan. Tanpa berpikir panjang, ia bawa motornya kesana membawa rasa penasaran. Sayup-sayup terdengar beberapa orang ini terlihat cemas dan mengakhawatirkan sesuatu. Bintang turun dari motor, ikut bergabung seraya mencoba mengintip di antara kerubungan orang itu.
Seseorang menangis.
Loh, Adin?
Bintang memfokuskan pandangan agar tidak salah melihat. Ya, benar. Ia sangat jelas mengenalnya. Langsung saja ia masuk untuk menerobos kerumunan orang itu lalu meraih tangan Adin.
"Lo kenapa?"
Perempuan itu mendongakkan pandangannya dengan agak terkejut. Ia langsung menyembunyikan wajahnya lagi menggunakan telapak tangan, malu. Sedetik kemudian tangisnya kian pecah. Membuat orang-orang di sekitar menatap Bintang dengan pandangan aneh, mengira bahwa Bintang akan macam-macam dengan Adin.
"Ibu, bapak, ini temen sekolah saya ya," terang Bintang langsung mengkonfirmasi agar mereka tidak menuduh yang macam-macam.
Setelahnya satu per satu dari mereka pun berhamburan pergi menyisakan mereka berdua.
Adin masih terisak. Membuat Bintang tak kuasa mengelus kepalanya agar tenang. "Lo kenapa?" tanyanya sekali lagi dengan pelan. Berusaha menbuat orang di hadapannya merasa nyaman meski kondisinya tidak demikian.
"T-tas sekolah gue dijambret," ucapnya lirih. "Sorry ...."
Bintang mengerutkan kedua alisnya, bingung. "Sorry? Buat apa?"
"B-baju se-seragam lo," ia sesegukan. "Ada disana."
KAMU SEDANG MEMBACA
An Extraordinary Different Things
Fiksi RemajaExtra Series 2. Bintang seorang pramuka, Adin seorang paskibra. Bintang suka Adin sejak pertama kali ia melihat Adin yang sedang dihukum oleh seniornya di belakang sekolah. Adin yang merasa didekati oleh Bintang pun bingung h...