"Musim semi tahun ini, kau tidak bisa mengambil libur seharipun. Terlalu banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan." Dia adalah tuanku, aku menyebutnya begitu kalau dia menganggapku budaknya.
"Saya akan lembur musim ini, tapi tolong berikan saya libur di musim semi." Aku berlutut memohon, sangat hina bukan?
"Lihat nanti seperti apa kerjamu, untung saja aku masih baik padamu." Dia menepuk-nepuk kepalaku kasar.
Baik? Tidak adakah kata yang lebih pantas untuknya daripada itu?
Kenyataan bahwa siapapun tidak bisa membuat hidupku sedikit lebih baik dari ini, semua keberanian dan harapan tempo hari hanya sebuah kesia-siaan.
Bahkan dia tidak pernah bisa berjanji untuk bertemu denganku esok hari.
Musim-musim ini aku habiskan bekerja sebagai budak, bahkan aku tidak pernah pulang. Musim semi adalah satu-satunya waktu aku bisa hidup menjadi manusia yang pantas.
...
Hari ini aku mulai libur, beberapa hari sebelum musim semi tiba. Aku melihat wajahku di cermin, tetap sama. Pucat, kesepian, dan mengerikan. Untuk melewati jembatan sungai Han, aku tak seberani dulu. Entah apa yang aku takutkan, bertemu makhluk lain yang pernah menumbuhkan sedikit perasaan manusiawiku, atau takut tidak menemukannya di sana?
Aku berjalan lebih cepat dan memejamkan mata saat aku melewati tempat di mana dia biasa berdiri.
"Sudah lama."
Ingin aku berlari sekuat tenaga tapi karena mungkin otakku yang sudah rusak, aku malah berhenti seketika.
"Lama tidak bertemu."
"Kebetulan."
"Iya kebetulan. Kau baik-baik saja?"
"Aniyeo, mungkin besok aku akan baik. Ingin berjalan-jalan sebentar?"
"Tentu saja."
Kami berjalan beriringan dalam diam. Namun, rasanya begitu lama tidak bertemu dengannya. Suaranya, wajahnya, tawanya hampir seluruhnya terhapus dari ingatanku. Saat merasakan hal itu, rasa takut menjalar disekujur tubuhku.
"Melakukan apa saja selama ini?" dia memasukkan kedua tangannya di kantung jas hangatnya.
"Hanya, melakukan semua pekerjaan musim semi."
"Kenapa melakukannya sekaligus?"
"Karena aku ingin merasakan hidup."
"Begitukah?"
"Aku pergi dulu." Merasa semakin hanyut bersamanya, ini saat yang tepat untuk pergi. Aku tidak ingin ada perasaan sama yang kembali tumbuh.
"Changkaman, bisakah besok kita bertemu lagi?" dia mengucapkan harapan, harapan yang sama yang pernah aku ucapkan. Haruskah aku menjawabnya atau hanya tersenyum seperti saat dia menjawab harapanku?
Aku putuskan untuk tidak melakukan apapun kecuali berlari menjauh darinya.
Saat perasaan ini aku injak, tendang, dan buang ke jalanan. Kenapa kau kembali memungutnya? Ingin kau buang lebih jauh? Atau kembali kau tanam lebih dalam?
...
"Haruskah aku mempercayai harapannya?" Aku mondar mandir di tepi sungai Han.
"Mungkin aku harus mencoba mempercayai harapan itu untuk terakhir kalinya."
...
"Seperti inikah yang dia harapkan? Menunggunya dan kemudian kecewa."Hingga tengah malam dia tidak muncul.
"Harusnya hari pertama musim semi ini, indah seperti seharusnya." Pohon-pohon mulai cerah dihiasi warna daun segar yang terlahir kembali. Tapi untukku masih terasa sedingin dan sesendu musim dingin yang sudah berlalu.
...
Musim semi tahun ini, aku memang kembali terlahir sebagai manusia. Manusia yang penuh harapan sekaligus penuh kehampaan.
"Mungkin aku harus mencoba mempercayai harapan itu untuk terakhir kalinya." Kalimat yang setiap hari ku ulangi hanya untuk sekedar mempertahankan harapan ini.
Bila harapan ini hilang, maka semua tentangnya akan menguap tanpa jejak, tanpa kenangan.
:: End Pov
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Annoying Namja (Ztao FF projects)
General Fiction"Mungkin aku harus mencoba mempercayai harapan itu untuk terakhir kalinya."