Gerry 2

1.2K 174 54
                                    


-Cakra-

Saya bertemu Cakra sekitar enam bulan yang lalu.

Pertemuan pertama kami tergolong tidak terlalu menyenangkan. Awalnya, saya merasa sangat bodoh karena melibatkan diri dalam pertengkaran antar kekasih seolah saya adalah inspektor Vijay. Itu awalnya. Pada pertemuan kedua saat akhirnya saya bisa melihatnya tersenyum lebar memberitahukan nama belakangnya di sebuah acara bebas yang dibuat Lana untuk mengentertain QA team, saya bersyukur saya tukang ikut campur.

Ah... I can not help but floating into the air kalau mengingat saat-saat pertama kali saya dan Cakra saling mengenal.

Sebentar, kalau saya ingat-ingat, it was after a successful final inspection di salah satu factory di kota ini juga. Seperti biasa, kalau proses ekspor berjalan mulus, hasil inspeksinya excellent, jajaran manajemen pabrik akan mengajak saya makan malam di restoran mewah. Kebetulan, malam itu saya sedang sangat ingin makan masakan jepang. Pergilah kami ke salah sebuah restoran paling mahal di kota ini.

He was sitting accross our table, duduk dengan sangat khidmat di atas tatami, menghadap ke arah saya. Kesan pertama yang saya tangkap adalah: tampan. Terlalu tampan. Dari awal saya langsung menangkap sinyal bahwa dia gay, oh percayalah, menduga saja sebenarnya tidak terlalu sulit asal tidak menuduh. Cakra yang waktu itu belum saya tahu namanya, bolak-balik tampak salah tingkah setiap kali menangkap basah saya melirik ke arahnya. Terus terang, saya selalu yakin tak ada pria sepenuhnya straight yang malu-malu dipandangi pria lain. Normalnya, reaksi yang paling umum dan mainstream yang mereka berikan adalah kernyitan jijik seolah yang mencuri pandang padanya adalah gundukan tai. Tanpa mencari tahu kebenarannya, mereka akan langsung mengibarkan bendera homophobes tak kasat mata di puncak kepalanya. Persis kuntilanak yang dipaku tepat di ubun-ubun.

Tapi Cakra tidak.

Dia terus menggerakkan bahu dengan gerakan yang malu-malu, sesekali membuang pandangannya ke arah lain, sesekali memainkan rambutnya yang tebal bergelombang, tapi lebih sering memijat tengkuknya, yang entah bagaimana seperti sedang mengirimkan getar-getar radar tepat kepada saya.

Untungnya, yang duduk di hadapan saya malam itu adalah Roro. Roro adalah merchandiser bertubuh mungil, sehingga saya lumayan leluasa menikmati pemandangan gratis sosok malaikat rupawan berbibir tebal memikat.

Saya memang lumayan kurang ajar, saya tidak sepenuhnya gay kok. Sudah empat tahun ini saya menjalin hubungan dengan kekasih saya Anjani, tapi di sisi lain kehidupan saya yang Anjani tidak tahu, saya sudah in and out of love dengan puluhan pria sebelum kami bertemu. Some of them are relationship with real feelings, most of them are fuck buddies. Sex partner only.

Bukannya saya tidak mencintai Anjani, bukan. Saya sangat mencintai dan menyayanginya. Semenjak kami dipertemukan dalam sebuah acara perjodohan lima tahun lalu dan mengalami masa pendekatan sampai setahun berikutnya, akhirnya kami sepakat bahwa kami memang saling mencintai. Dan seperti kebanyakan tradisi keluarga India, melajang sampai seusia kami tergolong memalukan, saya mengusulkan supaya kami menikah.

Masalahnya, saya juga suka laki-laki. Sejak kecil, yang membuat saya excited bukan hanya rok pendek anak perempuan yang tersingkap angin, tapi juga tubuh anak laki-laki yang telanjang bulat di shower room sesudah pelajaran renang selesai. Awalnya, saya pikir saya tidak beres. Kenapa alat kelamin saya mengeras tiap kali melihat pantat berotot Hritik berkedut di balik celana dalamnya? Kenapa saya deg-deg-an membayangkan sebesar apa alat kelamin Pak Amir kalau dia ereksi? Juga kenapa saya begitu ingin memakan bibir Motu yang penuh dan berwarna merah marun, serasi dengan warna kulitnya yang kecokelatan?

GERRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang