Ternyata pintu itu menghubungkan gudang dan loteng. Aku meniti anak tangga hingga penghabisan. Tetapi walau sudah berada di ujung tangga, bagian tubuhku hanya seperempat yang masuk. Sulit mengaksesnya tanpa pijakan bantuan. Aku terombang-ambing, mencoba mengangkat tubuh ini dengan kedua tangan. Ah, sial tanganku kram. Pada detik berikutnya kakiku gagap mencari pijakan namun tidak kutemukan ujung tangga tadi. Aku menoleh ke bawah, syahdan tangan tergelincir pada waktu berikutnya, tubuhku terjatuh dan penglihatan menggelap. Mata berkunang-kunang. Entah antara sadar dan tidak, seseorang berdiri di pucuk kepalaku. Alanis.
***
Hah, dimana ini. Mataku mengerjab berkali-kali, mencari sumber cahaya agar dapat melihat sesuatu tetapi seluruhnya gelap. Aku dimana, sedang apa terakhir kali. Benar, teringat bahwa diriku pingsan saat di gudang rumah Alanis. Kemana dia, mungkin sedang mencari bantuan. Berapa lama aku pingsan.
Aku mencoba berdiri, jika ini masih di gudang maka aku hapal letak saklar lampu. Tertatih mencari tombol itu dan kudapatkan. Aku menekan saklar dan penerangan berfungsi. Lampu berkelip nanar seperti sudah mau putus padahal baru tadi pagi aku mengganti bohlamnya.
Mataku terkesiap, seluruh bagian gudang nampak aneh. Banyak barang antik terpajang di sudut ruangan, kebanyakan berupa vas dan teko keramik berukir. Juga ada tanggga kayu terbentang dari ujung pintu loteng ke lantai. Pintunya terbuka. Aku hendak memanjat ke atas demi menuntaskan rasa penasaran namun sebuah suara dari luar mengagetkan.
"Come Alanis, with Momma.(Ayo Alanis, ikut Ibu.)"
Suara siapa itu, aku membuka pintu gudang dan melangkah keluar. Cahaya matahari begitu menyilaukan mata, reflek netraku memejam demi menghindari terangnya. Tanganku terangkat dan mencoba melindungi iris mata dari paparan kilau spontan.
Sekali lagi aku mengerjab menyesuaikan penglihatan, perlahan mata ini terbuka dan disajikanlah sebuah pemandangan indah depan mata. Taman bunga terbentang luas lengkap dengan aneka warna kembang serta pepohonan tinggi dan beberapa lagi tunas yang baru di tanam.
Seorang wanita muda tengah asyik bermain dengan anak kecil, aku mengenali wajah itu. Ibu Alanis, dia sangat cantik dengan gaun selutut khas wanita inggris zaman dahulu. Seorang anak kecil duduk manis di ayunan dan sang Ibu mendorongnya perlahan.
Wajah itu, mata biru dan kulit putihnya sangat familiar. Dia Alanisku. Bersamaan dengan itu tiba-tiba suara laki-laki memanggil mereka dari belakang rumah. Alanis kecil turun dan berlari ke arah suara tersebut. Wajahnya gembira penuh pesona seperti akan mendapat hadiah besar dari seseorang yang ia dekati.
Namun Ibu Alanis berteriak tatkala melihat gadis kecilnya menerjang sinar matahari siang, kata-kata Alanis tentang kulit yang terbakar terngiang-ngiang dalam ingatan. Aku reflek ikut berteriak, mungkin bisa menghentikan gadis itu.
Belum sempat kerongkongan ini mengeluarkan suara, dia mengaduh sakit dan terjerembab ke tanah. Ia meringkuk memegangi kulit lengan. Sang Ibu dan seorang lelaki yang belakangan kuketahui adalah Ayah Alanis berlari sembari membawa sebuah kain hitam besar. Mereka menghambur pada sang gadis kecil dan menyelimutinya dengan kain tersebut. Spontan kakiku juga mengikuti mereka namun ada sensasi aneh saat mereka berjalan kearahku dan menembus melewatiku.
Apa ini, apakah aku sudah mati. Atau ini cuma ilusi.
Ah entahlah, kuupakan semua itu dan mengikuti mereka masuk ke dalam rumah.
Alanis tergolek lemah di sofa sementara sang Ibu mengolesi lengannya dengan krim. Mata Ibunya menyiratkan ke khawatiran besar begitu pula si Ayah.
"Apa yang kau lakukan, dia tidak boleh keluar. Kau sudah tahu itu." Ayahnya memekik tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANIS (Lengkap)
Teen FictionRumah itu sangat misterius. Sebulan sejak pindah ke kompleks ini, aku selalu memperhatikan rumah itu. Saat suatu hari dengan diam-diam aku mengintip ke dalam menggunakan teropong, ada seorang gadis tengah bermain ayunan di halaman rumah itu. Dia Ala...