Aku memandangi rumah kosong itu sekali lagi, kini rupanya telah berubah. Pepohonan rindang dibabat habis dengan persetujuan pihak terkait. Menyaksikan satu per satu batang kayu tumbang turut menjatuhkan perih ke hatiku. Sedikit menyesal karena ulahku lah pepohonan itu kini lenyap untuk selamanya. Pohon kesukaan Alanis.
Sejak kemarin, komplek ini mendadak ramai. Entah kapan berita tersebar dan menjadi viral di dunia maya dengan judul, " Rumah Kuno Menyimpan Tiga Kerangka di Dalamnya". Belum lagi komentar sebagian besar orang yang makin menjadikan berita ini semakin sinpang siur. Semakin lama fitnah kian merajalela. Padahal aku hanya ingin menolong Alanis, bukan membuat kehebohan seperti ini.
Juga beberapa wartawan hilir mudik mendatangi rumahku yang entah informasi dari mana mengatakan bahwa akulah sosok Indigo baru abad ini. Tidak tahukah mereka bahwa pedih sedang menderaku. Hendak keluar mencari udara segar selalu dikejar media, terpaksa aku berdiam diri di kamar dan mau tak mau menyaksikan eksekusi rumah Alanis.
Konferensi pers di Tv lokal kemarin menjelaskan segala, beberapa bukti berjejer di meja pers. Banyak benda tidak penting yang dikumpulkan polisi namun satu bukti krusial tidak ditemukan, yaitu buku harian Emily. Polisi tentu tidak mencarinya karena aku tidak mengatakan hal mustahil itu kepada mereka. Hasil forensik menyatakan bahwa tiga kerangka itu berusia lebih dari puluhan tahun. Diperkirakan beberapa puluh tahun lalu mereka bertiga meninggal. Dua kerangka di dalam peti diduga dimasukkan oleh kerangka wanita yang teronggok di sudut ruangan. Kemudian tak lama setelah itu muncul dugaan bahwa wanita tersebut melakukan bunuh diri karena ditemukan tali rapuh yang melilit lehernya. Sepertinya tali itu putus karena dimakan usia sehingga membuat kerangka wanita tersebut jatuh dan berserakan di lantai.
Yang utuh hanya dua kerangka di dalam peti sedangkan sebagian tulang wanita tersebut hilang dan rusak, kemungkinan di makan binatang atau remuk karena pengaruh cuaca.
Hasil forensik itu benar adanya, namun Polisi tidak tahu apa yang kusembunyikan dari mereka. Sebelum aku keluar dari loteng, ada sebuah peti kecil tergeletak bersama jasad Alanis. Peti besi itu hanya berdebu tanpa merusak isi di dalamnya meskipun ia terkena efek pembusukan.
Peti itu teronggok manis di nakas. Sejak kemarin aku penasaran isinya namun ada sedikit keraguan saat hendak membuka. Entah, takutkah atau tak ingin terkejut untuk kesekian kali.
Para pekerja hilir mudik membabat rumput dan semak yang terserak, sebagian lagi membawanya ke truk sampah. Mereka hanya 'mengemasi' halaman tanpa masuk sedikitpun ke dalam. Mungkin keputusan untuk merubuh rumah itu masih menggantung. Warga komplek telah melayangkan usulan penghancuran rumah namun sepertinya pemerintah tidak akan bisa menindaklanjutinya dengan segera, meskipun berita sudah viral kemana-mana dan keresahan masyarakat semakin menjadi.
Aku meletakkan cangkir teh dan meraih kotak besi yang berukuran 10x5 cm itu. Perlahan aku membukanya, dua tombol nampak tersembul. Aku menekan keras kemudian bunyi klek terdengar. Dalam hitungan detik, kubus besi itu terbuka.
Benar dugaanku, ada beberapa barang di dalam. Satu gulungan yang dilapisi kertas perak serta sebuah kalung kecil berliontin bentuk hati.
Aku meletakkan liontin itu dan membuka gulungan. Karena dibungkus menggunakan kertas perak, isinya masih utuh ternyata ia adalah kumpulan lembaran buku. Mungkinkah itu adalah bagian dari buku harian Emily.
Aku membentang gulungan, beberapa lembar kertas tua penuh dengan tulisan berada di genggamanku. Aku duduk di kursi tepat depan meja tepi jendela dan memfokuskan perhatian ke barisan aksara tersebut.
"Page 1. Alanisku yang cantik tidak bisa bertahan. Gagal jantung merenggut nyawanya. Tuhan tidak adil, kenapa Dia menitipkan gadis kecil untuk kami rawat namun Dia ambil kembali. Tuhan sungguh tidak adil. Tidak!!!! Dia pasti akan hidup kembali dan memanggil namaku. Siapa yang berani mengganggu Alanis maka aku akan membunuhnya. Meski itu Tuhan sekalipun."
"Page 2. Sepertinya Edward sudah gila. Dia mengatakan akan mengubur putri kecilku, matanya buta mungkin. Lihat putriku, tertidur manis di ranjang empuknya. Sssst, jangan ada yang berani mengganggu."
"Page 4. Edward keterlaluan. Dia membawa Alanis pergi dan hendak menguburnya di halaman. Dia lakukan itu tanpa sepengetahuanku. Tenang saja sayang, Ibu sudah membawamu kembali dari timbunan tanah itu. Nanti kita mandi bersama dan mengingkirkan tanah kotor itu. Tidak cocok untuk kulit cantikmu."
"Page 5. Oh, what i have done. Aku melukai Edward. Pisau itu melakukan segalanya. Ada yang menyuruhku, wanita dalam cermin dengan seringainya yang jelek mengatakan bahwa Edward penghalang kebahagiaanku dan Alanis. Siapa wanita itu. Apa yang aku lakukan.... Aku harus pergi kemana. Seseorang tolong."
Di ujung halaman lima banyak coretan kekesalan melingkar-lingkar. Mataku berkunang melihat polanya.
Aku menyingkirkan kertas itu dan beralih pada lembar berikutnya.
"Page 6. Aku harus bagaimana???? Aku sendirian!!!! Alanis memang telah mati. Edward benar. Aku bersalah. Tubuh gadis kecilku membusuk, begitupun dengan Edward. Mungkin ini saatnya giliranku, agar wanita berpakaian hitam itu tidak terus menghantui. Maafkan Ibu Alanisku sayang, im sorry Edward. Kalian adalah cinta sejatiku untuk selamanya dan akan terus begitu."
Halaman itu berakhir. Aku tergamam. Sungguh besar kasih seorang Ibu pada anaknya sehingga kematian anak sendiri ia tidak mau menerima. Berarti Emily tidak membunuh Alanis. Ia tiada karena gagal jantung, sedangkan Edward terkorban karena kondisi psikis Emily yang depresi karena kehilangan putri tunggalnya. Pada saat terakhir dia berhasil kembali ke alam nyata dan kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidup.
Hatiku meringis sesak, ada cinta dalam setiap adegan hidup yang melibatkan Alanis. Karena cinta pula sang ibu bertindak tak lazim. Begitu banyak cinta meski di akhir cerita semua menjadi tragis. Ada pelupuk bening yang hendak luruh namun tertahan dan berganti pilu terdalam di relung jiwa.
Aku memasukkan semua benda tersebut dan menyimpannya dalam lemari. Aku masih tidak bisa mempercayai semua kejadian ini. Ingatanku terperangkap antar semu dan realita. Sesaat kecantikan dan sentuhan Alanis membungkus rasa namun berikutnya pikiranku menyadari bahwa semua itu khayal belaka.
Sesak, pedih. Berjuta belati tertanam dihati. Aku jatuh cinta sekaligus tercampakkan. Saat ingin meminta penjelasan namun tidak ada yang mampu mengurai alasan dan sebabnya.
Kemana aku harus pergi.
Detak jantungku berpacu cepat dan tidak beraturan. Tubuh seketika lemah dan jatuh tersungkur ke lantai. Setelah hati dipatahkan bertubi-tubi, salahkan jika aku menginginkan kematian?
***
"Ken ... "
Aku membuka mata. Ah, dimana ini. Netraku mengerjap menyalin sumber cahaya yang masuk. Siluet seorang gadis yang begitu kukenal menatapku sembari tersenyum.
Alanis
Mata kami bertemu. Dia menyunggingkan semringah cantik, seperti saat sedang bersamaku. Kelebat itu kembali, waktu bermain ayunan dengannya, memetik buah dan berkebun. Anggunnya dia saat mengumpulkan buket bunga putih kuning kecil dan menaruh ia di vas.
Sedetik kemudian kenangan abu-abu menghentak. Alanis meninggal, keranda dan jasad. Hatiku yang pedih dan bernanah.
Aku menatap wajah ayunya.
"Alanis, kau ... "
Dia mengangguk.
"Kita sudah bersama sekarang." Dia menyentuh jemariku dan menggenggamnya erat.
Tiba-tiba bias cinta merundung kembali batin ini laksana tanah kering tersiram hujan setelah kemarau yang panjang. Ya, dia benar. Kami sudah bersama sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANIS (Lengkap)
Teen FictionRumah itu sangat misterius. Sebulan sejak pindah ke kompleks ini, aku selalu memperhatikan rumah itu. Saat suatu hari dengan diam-diam aku mengintip ke dalam menggunakan teropong, ada seorang gadis tengah bermain ayunan di halaman rumah itu. Dia Ala...